-->

MAkALAH KEBUTUHAN SPIRITUAL


1.    Pengertian
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi kurang mampu untuk merawat diri sendiri dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan dukungan (Potter ,2005).
Distres spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan sesorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dari makna hidup (Potter ,2005).


a.    Penyakit Akut
Penyakit yang mendadak, tidak diperkirakan, yang menghadapkan baik ancaman langsung atau jangka panjang terhadap kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan klien, dapat menimbulkan distres spiritual yang bermakna. Misalnya pria yang berumur 40 tahun yang terkena serangan jantung, individu yang berusia 20 tahun yang menjadi korban kecelakaan kendaraan bermotor, semua menghadapi krisis yang mungkin mengancam kesehatan spiritual mereka (Potter ,2005).
Penyakit atau cedera yang dialami dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga klien menyalahkan diri mereka sendiri karena mempunyai kebiasaan kesehatan yang buruk, gagal untuk mematuhi tindak kewaspadaan keselamatan, atau menghindari pemeriksaan kesehatan secara rutin. Konflik dapat berkembang sekitar keyakinan individu dan makna hidup. Individu mungkin mempunyai kesulitan memandang masa depan dan dapat terpuruk tidak berdaya oleh kedukaan (Potter ,2005).
Kemarahan bukan hal yang tidak wajar, dan klien mungkin mengekspresikannya terhadap Tuhan, keluarga mereka atau terhadap diri sendiri. Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi bagaimana mereka menghadapi penyakit mendadak dan bagaimana mereka dengan cepat beralih ke arah penyembuhan (Potter & Perry ,2005).
Yim (1994, dalam potter dan perry, 2005) telah mengembangkan jalur kritis penyembuhan spiritual untuk klien yang menjalani bypass arteri koroner. Jalur ini di dasarkan pada dinamika spiritual yang dapat memaksimalkan penyembuhan pasien. Harapan dapat timbul dari keintiman dengan suatu persekutuan atau pasangan, kemampuan untuk menyuarakan tentang nilai kehidupan dan mengambil makna dari penyakit, dan menemukan tujuan dan nilai untuk mengarah pada masa mendatang dan sembuh adalah komponen yang mempengaruhi pergerakan pada jalur (Potter ,2005).
b.    Penyakit kronis
Seseorang dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan  dan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal mereka. Kemandirian dapat sangat terancam, yang menyebabkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh. Ketergantungan pada orang lain untuk mendapat perawatan diri rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan persepsi tentang penurunan kekuatan batiniah (Potter ,2005).
Seseorang mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup yang mempengaruhi kekuatan dari dalam yang diperlukan untuk menghadapi perubahan fungsi yang dialami. Kekuatan tentang spiritualitas seseorang dapat menjadi faktor penting dalam cara seseorang menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Reevaluasi tentang hidup mungkin terjadi. Mereka yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup dalam potensi mereka (Potter ,2005).
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai maslah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial, dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal.
Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik. Perawtan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.
Canadian Nurses Association (CNA) mengusulkan standar praktik pada perawatan paliatif-hospis atau Hospice Palliative Care Nursing Standars (HPCNS). Kerangka konsep dari standar praktik ini adalah berdasarkan 6 dimensi, yaitu: Valuing (menilai), connecting (menghubungkan), empowering (memberdayakan), doing for (melakukan untuk), finding meaning (menemukan makna), dan preserving integrity (menjaga integritas) dari Support Care Model.


Setiap dimensi merupakan mewakili setiap standar sebagai berikut:
1.    Perawat paliatif percaya pada nilai interinsik dari orang lain, makna hidup dan bahwa kematian itu adalah proses alami.
2.    Perawat paliatif melakukan hubungan terapeutik dengan pasien dan keluarga dengan cara menciptakan, mempertahankan, dan menutup suatu hubungan.
3.    Perawat paliatif memberikan perawatan dengan cara memberdayakan pasien dan keluarga.
4.    Perawat paliatif memberikan perawatan berdasarkan praktek terbaik dan/atau berdasarkan evidence-based dalam bidang: nyeri dan menejemen gejala, koordinasi perawatan, dan advokasi.
5.    Perawtan paliatif membantu pasien dan keluarga untuk menemukan makna hidup mereka dan makna dari penyakit yang diderita.
6.    Perawat paliatif menjaga integritas diri, pasien dan keluarga.
c.    Penyakit terminal
Penyakit terminal umumnya menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, kematian, dan ancaman terhadap integritas.  Klien mungkin mempunyai ketidakpastian tentang makna kematian  dan dengan demikian mereka menjadi sangat rentan terhadap distres spiritual. Terdapat juga klien yang mempunyai rasa spiritual tentang ketenangan yang memampukan mereka untuk menghadapi kematian tanpa rasa takut (Potter ,2005).
Individu yang mengalami penyakit terminal sering menemukan diri mereka menelaah kembali kehidupan mereka dan mempertanyakan maknanya. Pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan dapat mencakup, “Mengapa hal ini terjadi pada saya” atau “Apa yang telah saya lakukan sehingga hal ini terjadi pada saya ?” keluarga dan teman-teman dapat terpengaruhi sama halnya yang klien alami. Penyakit terminal menyebabkan anggota keluarga mengajukan pertanyaan penting tentang maknanya dan bagaimana penyakit tersebut akan mempengaruhi hubungan mereka dengan klien (Potter ,2005).
Fryback(1992) melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana individu dengan penyakit terminal menggambarkan tentang kematian. Klien yang termasuk dalam penelitian mengidentifikasi tiga domain kesehatan sebagai berikut: mental-emosi, spiritual, dan fisik. Domain spiritual di pandang sebagai hal yang penting dalam kesehatan dan mencakup mempunyai hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, menghargai mortalitas seseorang, dan menumbuhkan aktualisasi-diri.
Mereka menghubungkan kesehatan dengan keyakinan dalam kekuatan yang lebih tinggi yang telah memberi mereka kepercayaan dan kemampuan untuk menyintai. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa ketika klien yang mempunyai penyakit terminal mempunyai persepsi dalam keadaan tidak sehat, persepsi tersebut bukan karena penyakitnya tetapi karena sedang tidak mampu menjalani hidup mereka dengan sempurna dan tidak mampu melakukan hal-hal yang mereka inginkan (Potter ,2005).
Keyakinan beragama dapat membantu menyokong pasien dalam menghadapi krisis kehidupan termasuk kematian melalui berbagai hal berikut:
1.    Membantu mengendalikan rasa takut dan ansietas tidak saja dengan mengungkapkan kedukaan, tetapi juga melalui rasa syukur terhadap karunia dan pengalaman yang diberikan
2.    Menekankan kepada peristiwa kehidupan dan pengalaman kemanusiaan yang membuat hidup tampak lebih mudah dipahami
3.    Membantu pasien mengalihkan pikiran dan perasaan pada tindakan yang konstruktif
4.    Memungkinkan pasien untuk mengalihkan peristiwa kehidupan yang tragis ke arah kekuatan yang memberi harapan dan cinta
5.    Mengarahkan pada kepekaan spiritual dan aspirasi yang tinggi sehingga mudah menemukan hikmah yang terkandung dalam penderitaan
6.    Mengurangi rasa bersalah dan berduka dalam menghadapi saat akhir kehidupan
7.    Mengalihkan perhatian dari kematian, tidak untuk mengingkari, tetapi dengan menempatkannya dalam perseptif yang lebih luas


B.       Tahap-tahap kematian
Kematian adalah kematian otak, korteks serebral, mengalami kerusakan permanen. Aktivitas jantung kehilangan fungsi. Dimanifestasikan secara klinis dengan tidak ada respon terarah terhadap stimulus eksternal, tidak ada reflek sefalik, apneu dan elektrogram isoelektrik minimal 30 menit tanpa hipotermia dan keracunan oleh depresan system saraf, (Kozier, 2010).
Kubler-Ross (1969, Hegner,2003), lima tahap yang dialami pasien ketika menghadapi kematian, yaitu mengingkari (denial), marah (anger), tawar menawar (bargaining), depresi (depression) dan menerima (acceptance). Jika terdapat cukup waktu dan dukungan mental, beberapa pasien dapat menggerakan emosinya melalui tiap tahap sampai titik penerimaan penyakitnya dan kematiannya.
1.      Menyangkal (denial)
Pada tahap pertama ini pasien akan merasa syok dan mati rasa, selanjutkan memasuki proses denial. Menurut Kubler-Ros (1969) tahap ini bersifat adaptif berperan sebagai penahan terhadap hal yang tidak diharapkan dan merupakan proteksi yang diperlukan. Contoh : tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi.
2.      Marah (anger)
Kemarahn terjadi karena pasien merasa rencana kegiatannya terganggu. Pesien merasa iri dengan orang lain yang masih dapat menikmati kehidupan. Kemarahan biasanya ditumpahkan memalui reaksi yang alamiah dan sering dilakukan terhadap siapapun yang berada disekitarnya. Contoh : kenapa saya, ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan?
3.      Tawar-menawar (bargaining)
Pada tahap ini, pasien merasa bahwa kematiannya masih dapat ditunda dengan  berdoa. Melalui tawar-menawar ini, pasien akan mencoba menunda atau memesan saat-saat  kematian. Dia masih ada waktu untuk berdoa, melengkapi tujuan hidupnya yang penting. Pada tahap ini ia berjanji akan memperbaiki cara hidupnya, dan akan lebih sering berdoa. Contoh : saya akan lakukan apapun agar bisa bertahan beberapa tahun lagi.
4.      Depresi (depression)
Pada tahap depresi, pasien dengan gejala penyakit yang makin memburuk, menyadari bahwa kematian sudah semakin dekat. Depresi merupakan jalur utama bahwa ia akan dipisahkan dari kehidupan dan dengan demikian tidak ada pilihan lain. Contoh : apa gunanya lagi? saya akan meninggal. Saya tidak peduli dengan apapun lagi.


5.      Penerimaan (acceptance)
Pada tahap ini, pasien telah menerima nasibnya. “apabila pasien telah mendapatkan cukup waktu dan telah dibantu dalam menjalani tahap-tahap sebelumnya, ia akan tiba pada suatu keadaan ketika ia merasa depresi maupun arah pada nasibnya”. Contoh : semuanya akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan ini. Lebih baik saya bersiap diri untuk mengahapinya.
Kubler-Ros menyatakan langkah-langkah ini tidak selalu urut, atau dilalui semuanya oleh seorang individu, tapi paling tidak ada 2 langkah yang pasti akan dilalui. Seringkali, individu akan mengalami beberapa langkah berulang-ulang. Intinya, seorang individu tidak seharusnya memaksakan proses yang dilalui, Proses duka adalah hal yang sangat personal dan sebaiknya tidak dipercepat (atau diperpanjang).
Kebanyakan orang tidak siap menghadapi duka, karena seringkali, tragedi terjadi begitu cepat, dan tanpa peringatan. Dia harus bekerja keras melalui proses tersebut hingga akhirnya sampai pada tahap Penerimaan.

C.       Bimbingan sakaratul maut
     Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Menurut Dadang Hawari (1977) “orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan,  krisis spiritual, dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”.
Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat,  perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan.  Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di samping perawat.  Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal. Menurut konsep Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan pasien di rumah sakit mutlak diperlukan. Perawat hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut.
Fase sakaratul maut seringkali di sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita diajarkan do’a untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya :
 “Dan datanglah Sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. (Q.S. Qaf (50): 19 )
“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi)
“Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)
“Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa”. (Ka’b al-Ahbar, sahabat Rasulullah saw)
“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).
“Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki”. ( Imam Ghozali)
Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang.  Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia hidup.
Sakaratul maut itu pedih seperti firman Allah SWT kepada Ibrahim AS adalah “Seperti panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah, lalu nyawapun ditarik”, Selanjutnya Allah berfirman kepada Nabi Musa “rasanya seperti burung hidup yang digoreng dalam wajan. Rasanya seperti domba yang hidup kemudian diikuti oleh penjagal. Rasanya lebih perih pedih dibanding sayatan pedang, geretan gergaji, dan tusukan benda tajam. Seringan-ringannya kematian seperti duri dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera tersebut tanpa robekan. Seperti berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas dalam lubang jarum seakan-akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu ditarik dari ujung kaki sampai keubun-ubun”.
a.       Tanda-tanda pasien sakaratul maut
Menurut Kozier (2010), tanda-tanda klinis pasien sakaratul maut adalah :
1)      Kehilangan tonus otot
2)      Perlambatan sirkulasi
3)      Perubahan respirasi
4)      Kerusakan sonsori
Menurut Wotf &Weitzel (dalam Hawari,1998) Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu :
1)      Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab
2)      Kulit tampak kebiru-biruan kelabu atau pucat
3)      Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat
4)      Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes
5)      Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.


b.      Bimbingan perawat dalam menghadapi pasien sakaratul maut
1)      Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
     Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem :
 “Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”.
Selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi :
 ”Aku ada pada sangka-sangka hambaku,  oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan yang baik”,
Selanjutnya Ibnu Abas berkata :
 ”Apabila kamu melihat seseorang menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa dengan Tuhannya itu”.
Selanjutnya Ibnu Mas´ud berkata :
”Demi Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu”.
Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2)      Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah
     Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat Muslim.
 “Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah karena sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya menuju surga”. Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata :
“Hindarilah orang yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat”. Para ulama berpendapat,” Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan memberikan hak-haknya.” (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458).

3)      Berbicara yang Baik dan Do´a untuk jenazah ketika menutupkan matanya
Di samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu berkomunikasi terapeutik, antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda :
”Bila kamu datang mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”.
Selanjutnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda : “Apabila kamu menghadiri orang yang meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata itu mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”.
Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya, mendo’akan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.
4)      Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
“Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5)      Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
a)      Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah kiblat.
b)      Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat. Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar. Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.


D.      Teori Peace End Of Life
Menurut Ruland & Moore (1998), teori menghadapi kematian dengan damai merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan tehadap pasien dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk hidup lebih lama. Teori ini dirancang untuk memberikan hasil yang positif  dengan kriteria:

1.    Bebas dari rasa sakit
Terbebas dari penderitaan atau gejala distres merupakan bagian pokok/penting dari pengalaman banyak pasien yang menghadapi kematian. Rasa sakit dianggap sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. (Lenz, Suppe, Gift, Pugh & Milligan, 1995; Pain terms, 1979)
2.    Merasakan kenyamanan
Kenyamanan didefinisi secara inklusif yang digunakan oleh Kolcaba dan Kolcaba’s (1991) antara lain:
a.    Bantuan terhadap ketidaknyamanan.
b.    Berada dalam keadaan yang senang dan kepuasan yang damai.
c.    dan apa pun yang membuat hidup menjadi mudah atau menyenangkan (Ruand & Moore, 1998, p. 172).
3.    Merasakan dihargai/dihormati
Setiap pasien yang berada pada fase penyakit terminal perlu dihormati dan dihargai sebagai manusia (Ruland & Moore, 1998, p. 172). Konsep ini menggabungkan ide yang bernilai pribadi, seperti yang diungkapkan oleh prinsip etis otonomi dan menghormati orang, yang menyatakan bahwa individu harus diperlakukan sebagai individu yang otonom dan jika seseorang dengan otonomi yang berkurang berhak atas perlindungan (United States, 1978).
4.    Merasakan kedamaian
Kedamaian yaitu merasakan ketenangan, kesesuaian/keselarasan dan kepuasaan serta bebas dari ansietas, kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan (Ruland & Moore, 1998, p. 172). Kondisi damai meliputi fisik, psikologis dan spiritual
5.    Kedekatan dengan orang yang berarti dalam hidup dan yang telah merawat pasien
Kualitas hidup didefinisikan dan dievaluasi sebagai wujud kepuasan melalui hasil penilaian empiris seperti penanganan tehadap gejala dan kepuasan dengan hubungan interpersonal. Memasukkan pilihan-pilihan pasien ke dalam keputusan perawatan merupakan pertimbangan yang tepat.
Teori ini menjelaskan hidup yang berkualitas sebagai keadaan di mana seseorang mendapatkan apa yang diinginkan, sebuah pendekatan yang dirasa tepat untuk memberikan perawatan pada seseorang yang ingin menghadapi kematian dengan damai.
Karena teori peace end of life berasal dari standar pelayanan yang ditulis oleh tim perawat ahli yang menangani masalah praktek, konsep metaparadigma yang melekat dalam mengatasi fenomena keperawatan, perawatan kompleks dan holistik diperlukan untuk mendukung peace end of life.
Ada dua asumsi yang diidentifikasi oleh Ruland and Moore’s (1998) dalam teori peace end of life yaitu:
a.    Kejadian dan perasaan pada end of life bersifat personal dan individual.
b.    Pelayanan keperawatan memiliki peran penting dalam menciptakan pengalaman end of life ini. Perawat mengkaji dan menginterprestasikan petunjuk yang merefleksikan pengalaman end of life pasien dan memberikan intervensi seperlunya untuk mendapatkan atau mempertahankan pengalaman penuh kedamaian bahkan terhadap pasien sekarat yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal sekalipun.




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel