MAkALAH KEBUTUHAN SPIRITUAL
18:49
Edit
1. Pengertian
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri
menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah
penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama
penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi kurang mampu
untuk merawat diri sendiri dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan
dan dukungan (Potter ,2005).
Distres spiritual dapat berkembang
sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang
mungkin dapat mengakibatkan sesorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang
lain. individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan
pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dari makna
hidup (Potter ,2005).
a. Penyakit Akut
Penyakit
yang mendadak, tidak diperkirakan, yang menghadapkan baik ancaman langsung atau
jangka panjang terhadap kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan klien, dapat menimbulkan
distres spiritual yang bermakna. Misalnya pria yang berumur 40 tahun yang
terkena serangan jantung, individu yang berusia 20 tahun yang menjadi korban
kecelakaan kendaraan bermotor, semua menghadapi krisis yang mungkin mengancam
kesehatan spiritual mereka (Potter ,2005).
Penyakit
atau cedera yang dialami dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga klien
menyalahkan diri mereka sendiri karena mempunyai kebiasaan kesehatan yang
buruk, gagal untuk mematuhi tindak kewaspadaan keselamatan, atau menghindari
pemeriksaan kesehatan secara rutin. Konflik dapat berkembang sekitar keyakinan
individu dan makna hidup. Individu mungkin mempunyai kesulitan memandang masa
depan dan dapat terpuruk tidak berdaya oleh kedukaan (Potter ,2005).
Kemarahan
bukan hal yang tidak wajar, dan klien mungkin mengekspresikannya terhadap
Tuhan, keluarga mereka atau terhadap diri sendiri. Kekuatan spiritualitas klien
mempengaruhi bagaimana mereka menghadapi penyakit mendadak dan bagaimana mereka
dengan cepat beralih ke arah penyembuhan (Potter & Perry ,2005).
Yim
(1994, dalam potter dan perry, 2005) telah mengembangkan jalur kritis
penyembuhan spiritual untuk klien yang menjalani bypass arteri koroner.
Jalur ini di dasarkan pada dinamika spiritual yang dapat memaksimalkan
penyembuhan pasien. Harapan dapat timbul dari keintiman dengan suatu
persekutuan atau pasangan, kemampuan untuk menyuarakan tentang nilai kehidupan
dan mengambil makna dari penyakit, dan menemukan tujuan dan nilai untuk
mengarah pada masa mendatang dan sembuh adalah komponen yang mempengaruhi
pergerakan pada jalur (Potter ,2005).
b. Penyakit kronis
Seseorang
dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan dan
mengganggu kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal mereka. Kemandirian
dapat sangat terancam, yang menyebabkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang
menyeluruh. Ketergantungan pada orang lain untuk mendapat perawatan diri rutin
dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan persepsi tentang penurunan
kekuatan batiniah (Potter ,2005).
Seseorang
mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup yang mempengaruhi kekuatan dari
dalam yang diperlukan untuk menghadapi perubahan fungsi yang dialami. Kekuatan
tentang spiritualitas seseorang dapat menjadi faktor penting dalam cara
seseorang menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis.
Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis
dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Reevaluasi tentang hidup mungkin
terjadi. Mereka yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas
diri dan hidup dalam potensi mereka (Potter ,2005).
Pada
stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai
maslah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan
aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan atau
pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis,
sosial, dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang
dikenal sebagai perawatan paliatif. Masyarakat menganggap perawatan paliatif
hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal.
Namun
konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan
paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi
dengan baik. Perawtan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat
holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar
falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir
hayatnya.
Canadian
Nurses Association (CNA) mengusulkan standar praktik pada
perawatan paliatif-hospis atau Hospice Palliative Care Nursing Standars (HPCNS).
Kerangka konsep dari standar praktik ini adalah berdasarkan 6 dimensi, yaitu: Valuing
(menilai), connecting (menghubungkan), empowering
(memberdayakan), doing for (melakukan untuk), finding meaning
(menemukan makna), dan preserving integrity (menjaga integritas) dari Support
Care Model.
Setiap dimensi
merupakan mewakili setiap standar sebagai berikut:
1.
Perawat paliatif percaya pada nilai interinsik dari orang lain, makna hidup dan
bahwa kematian itu adalah proses alami.
2.
Perawat paliatif melakukan hubungan terapeutik dengan pasien dan keluarga
dengan cara menciptakan, mempertahankan, dan menutup suatu hubungan.
3.
Perawat paliatif memberikan perawatan dengan cara memberdayakan pasien dan
keluarga.
4.
Perawat paliatif memberikan perawatan berdasarkan praktek terbaik dan/atau
berdasarkan evidence-based dalam bidang: nyeri dan menejemen gejala, koordinasi
perawatan, dan advokasi.
5.
Perawtan paliatif membantu pasien dan keluarga untuk menemukan makna hidup
mereka dan makna dari penyakit yang diderita.
6.
Perawat paliatif menjaga integritas diri, pasien dan keluarga.
c.
Penyakit terminal
Penyakit
terminal umumnya menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan,
kematian, dan ancaman terhadap integritas. Klien mungkin mempunyai
ketidakpastian tentang makna kematian dan dengan demikian mereka menjadi
sangat rentan terhadap distres spiritual. Terdapat juga klien yang mempunyai
rasa spiritual tentang ketenangan yang memampukan mereka untuk menghadapi
kematian tanpa rasa takut (Potter ,2005).
Individu
yang mengalami penyakit terminal sering menemukan diri mereka menelaah kembali
kehidupan mereka dan mempertanyakan maknanya. Pertanyaan-pertanyaan yang umum
diajukan dapat mencakup, “Mengapa hal ini terjadi pada saya” atau “Apa yang
telah saya lakukan sehingga hal ini terjadi pada saya ?” keluarga dan
teman-teman dapat terpengaruhi sama halnya yang klien alami. Penyakit terminal
menyebabkan anggota keluarga mengajukan pertanyaan penting tentang maknanya dan
bagaimana penyakit tersebut akan mempengaruhi hubungan mereka dengan klien
(Potter ,2005).
Fryback(1992)
melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana individu dengan penyakit
terminal menggambarkan tentang kematian. Klien yang termasuk dalam penelitian
mengidentifikasi tiga domain kesehatan sebagai berikut: mental-emosi,
spiritual, dan fisik. Domain spiritual di pandang sebagai hal yang penting
dalam kesehatan dan mencakup mempunyai hubungan dengan kekuatan yang lebih
tinggi, menghargai mortalitas seseorang, dan menumbuhkan aktualisasi-diri.
Mereka
menghubungkan kesehatan dengan keyakinan dalam kekuatan yang lebih tinggi yang
telah memberi mereka kepercayaan dan kemampuan untuk menyintai. Penelitian
tersebut telah menunjukkan bahwa ketika klien yang mempunyai penyakit terminal
mempunyai persepsi dalam keadaan tidak sehat, persepsi tersebut bukan karena
penyakitnya tetapi karena sedang tidak mampu menjalani hidup mereka dengan
sempurna dan tidak mampu melakukan hal-hal yang mereka inginkan (Potter ,2005).
Keyakinan
beragama dapat membantu menyokong pasien dalam menghadapi krisis kehidupan
termasuk kematian melalui berbagai hal berikut:
1.
Membantu mengendalikan rasa takut dan ansietas tidak saja dengan mengungkapkan
kedukaan, tetapi juga melalui rasa syukur terhadap karunia dan pengalaman yang
diberikan
2.
Menekankan kepada peristiwa kehidupan dan pengalaman kemanusiaan yang membuat
hidup tampak lebih mudah dipahami
3.
Membantu pasien mengalihkan pikiran dan perasaan pada tindakan yang konstruktif
4.
Memungkinkan pasien untuk mengalihkan peristiwa kehidupan yang tragis ke arah
kekuatan yang memberi harapan dan cinta
5.
Mengarahkan pada kepekaan spiritual dan aspirasi yang tinggi sehingga mudah
menemukan hikmah yang terkandung dalam penderitaan
6.
Mengurangi rasa bersalah dan berduka dalam menghadapi saat akhir kehidupan
7.
Mengalihkan perhatian dari kematian, tidak untuk mengingkari, tetapi dengan
menempatkannya dalam perseptif yang lebih luas
B. Tahap-tahap
kematian
Kematian
adalah kematian otak, korteks serebral, mengalami kerusakan permanen. Aktivitas
jantung kehilangan fungsi. Dimanifestasikan secara klinis dengan tidak ada
respon terarah terhadap stimulus eksternal, tidak ada reflek sefalik, apneu dan
elektrogram isoelektrik minimal 30 menit tanpa hipotermia dan keracunan oleh
depresan system saraf, (Kozier, 2010).
Kubler-Ross
(1969, Hegner,2003), lima tahap yang dialami pasien ketika menghadapi kematian,
yaitu mengingkari (denial), marah (anger), tawar menawar (bargaining), depresi
(depression) dan menerima (acceptance). Jika terdapat cukup waktu dan dukungan
mental, beberapa pasien dapat menggerakan emosinya melalui tiap tahap sampai
titik penerimaan penyakitnya dan kematiannya.
1. Menyangkal
(denial)
Pada tahap pertama ini pasien akan
merasa syok dan mati rasa, selanjutkan memasuki proses denial. Menurut
Kubler-Ros (1969) tahap ini bersifat adaptif berperan sebagai penahan terhadap
hal yang tidak diharapkan dan merupakan proteksi yang diperlukan. Contoh : tidak
mungkin, ini tidak mungkin terjadi.
2. Marah
(anger)
Kemarahn terjadi karena pasien merasa
rencana kegiatannya terganggu. Pesien merasa iri dengan orang lain yang masih
dapat menikmati kehidupan. Kemarahan biasanya ditumpahkan memalui reaksi yang
alamiah dan sering dilakukan terhadap siapapun yang berada disekitarnya. Contoh
: kenapa saya, ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan?
3. Tawar-menawar
(bargaining)
Pada
tahap ini, pasien merasa bahwa kematiannya masih dapat ditunda dengan
berdoa. Melalui tawar-menawar ini, pasien akan mencoba menunda atau memesan
saat-saat kematian. Dia masih ada waktu untuk berdoa, melengkapi tujuan
hidupnya yang penting. Pada tahap ini ia berjanji akan memperbaiki cara
hidupnya, dan akan lebih sering berdoa. Contoh : saya akan lakukan apapun agar
bisa bertahan beberapa tahun lagi.
4. Depresi
(depression)
Pada tahap depresi, pasien dengan
gejala penyakit yang makin memburuk, menyadari bahwa kematian sudah semakin
dekat. Depresi merupakan jalur utama bahwa ia akan dipisahkan dari kehidupan
dan dengan demikian tidak ada pilihan lain. Contoh : apa gunanya lagi? saya
akan meninggal. Saya tidak peduli dengan apapun lagi.
5. Penerimaan
(acceptance)
Pada tahap ini, pasien telah menerima
nasibnya. “apabila pasien telah mendapatkan cukup waktu dan telah dibantu dalam
menjalani tahap-tahap sebelumnya, ia akan tiba pada suatu keadaan ketika ia
merasa depresi maupun arah pada nasibnya”. Contoh : semuanya akan baik-baik
saja. Saya tidak dapat melawan ini. Lebih baik saya bersiap diri untuk
mengahapinya.
Kubler-Ros menyatakan langkah-langkah
ini tidak selalu urut, atau dilalui semuanya oleh seorang individu, tapi paling
tidak ada 2 langkah yang pasti akan dilalui. Seringkali, individu akan
mengalami beberapa langkah berulang-ulang. Intinya, seorang individu tidak
seharusnya memaksakan proses yang dilalui, Proses duka adalah hal yang sangat
personal dan sebaiknya tidak dipercepat (atau diperpanjang).
Kebanyakan orang tidak siap menghadapi
duka, karena seringkali, tragedi terjadi begitu cepat, dan tanpa peringatan.
Dia harus bekerja keras melalui proses tersebut hingga akhirnya sampai pada
tahap Penerimaan.
C. Bimbingan
sakaratul maut
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari
pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Menurut Dadang Hawari (1977)
“orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih
banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis
kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu
mendapatkan perhatian khusus”.
Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang
berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan.
Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di samping
perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat
meningkatkan semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan
dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal. Menurut
konsep Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik atau tidaknya kematian
seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan
diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan
pasien di rumah sakit mutlak diperlukan. Perawat hendaknya meyakini bahwa
sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari kehidupan manusia di
dunia terdapat fase sakaratul maut.
Fase sakaratul maut seringkali di sebutkan oleh Rasulullah
sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita diajarkan do’a
untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Hal tersebut
digambarkan Allah dalam firman-Nya :
“Dan
datanglah Sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari
daripadanya”. (Q.S. Qaf (50): 19 )
“Sakaratul
maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang”
(HR Tirmidzi)
“Kematian
yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar
kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta
bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)
“Sakaratul
maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang.
Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun
membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang
tersisa”. (Ka’b al-Ahbar, sahabat Rasulullah saw)
“Demi
Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab,
lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian
akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”.
(Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).
“Rasa
sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke
seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan
dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf,
persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki”.
( Imam Ghozali)
Proses
sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak
dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita
menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Rasa sakit sakaratul
maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini
tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia
hidup.
Sakaratul
maut itu pedih seperti firman Allah SWT kepada Ibrahim AS adalah “Seperti
panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah, lalu nyawapun ditarik”,
Selanjutnya Allah berfirman kepada Nabi Musa “rasanya seperti burung hidup
yang digoreng dalam wajan. Rasanya seperti domba yang hidup kemudian diikuti
oleh penjagal. Rasanya lebih perih pedih dibanding sayatan pedang, geretan
gergaji, dan tusukan benda tajam. Seringan-ringannya kematian seperti duri
dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera tersebut tanpa robekan. Seperti
berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas dalam lubang jarum
seakan-akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu ditarik dari ujung kaki
sampai keubun-ubun”.
a. Tanda-tanda
pasien sakaratul maut
Menurut Kozier
(2010), tanda-tanda klinis pasien sakaratul maut adalah :
1)
Kehilangan tonus otot
2)
Perlambatan sirkulasi
3)
Perubahan respirasi
4)
Kerusakan sonsori
Menurut Wotf
&Weitzel (dalam Hawari,1998) Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan
nafasnya yang terakhir, yaitu :
1)
Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada
anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang
terasa dingin dan lembab
2)
Kulit tampak kebiru-biruan kelabu atau pucat
3)
Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat
4)
Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes
5)
Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa
nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan
bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang
tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.
b. Bimbingan
perawat dalam menghadapi pasien sakaratul maut
1)
Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah
sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem :
“Jangan
sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada
Allah”.
Selanjutnya Allah
berfirman dalam hadist qudsi :
”Aku ada
pada sangka-sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan
sangkaaan yang baik”,
Selanjutnya Ibnu Abas
berkata :
”Apabila
kamu melihat seseorang menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada
Tuhannya dan akan berjumpa dengan Tuhannya itu”.
Selanjutnya Ibnu
Mas´ud berkata :
”Demi
Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah
maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu”.
Hal ini menunjukkan
bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2) Mentalkinkan
dengan Kalimat Laailahaillallah
Perawat
muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien
terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang
terakhir. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan
melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam
Hadist Riwayat Muslim.
“Talkinkanlah
olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah karena
sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu
ketika matinya maka itulah bekalnya menuju surga”. Selanjutnya Umar Bin
Ktahab berkata :
“Hindarilah
orang yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah,
maka sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa,
kamu lihat”. Para ulama berpendapat,” Apabila telah membimbing orang yang akan
meninggal dengan satu bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila
ia berbicara dengan bacaan-bacaan atau materi pembicaraan lain. Setelah itu
barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha menjadi ucapan terakhir
ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada pentingnya menjenguk
orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan
memberikan hak-haknya.” (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim :
6/458).
3) Berbicara
yang Baik dan Do´a untuk jenazah ketika menutupkan matanya
Di
samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu berkomunikasi
terapeutik, antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda :
”Bila
kamu datang mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara
yang baik karena sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”.
Selanjutnya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda : “Apabila kamu menghadiri
orang yang meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena
sesungguhnya mata itu mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata
yang baik karena malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”.
Berdasarkan
hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa
yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya,
mendo’akan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas, dari
jasadnya.
4) Membasahi
kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
“Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
“Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5) Menghadapkan
orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian
disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah
Saw., hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus
shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara
bagaimana menghadap kiblat :
a)
Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya
dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar
ia menghadap kearah kiblat.
b)
Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke
kiblat. Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang
paling benar. Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka
biarkanlah orang tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.
D.
Teori Peace End Of Life
Menurut Ruland & Moore (1998),
teori menghadapi kematian dengan damai merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan tehadap pasien dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk hidup
lebih lama. Teori ini dirancang untuk memberikan hasil yang positif
dengan kriteria:
1.
Bebas dari rasa sakit
Terbebas
dari penderitaan atau gejala distres merupakan bagian pokok/penting dari
pengalaman banyak pasien yang menghadapi kematian. Rasa sakit dianggap sebagai pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial. (Lenz, Suppe, Gift, Pugh & Milligan,
1995; Pain terms, 1979)
2.
Merasakan kenyamanan
Kenyamanan didefinisi
secara inklusif yang digunakan oleh Kolcaba dan Kolcaba’s (1991) antara lain:
a. Bantuan terhadap ketidaknyamanan.
b. Berada dalam keadaan yang senang dan
kepuasan yang damai.
c. dan apa pun yang membuat hidup menjadi
mudah atau menyenangkan (Ruand & Moore, 1998, p. 172).
3.
Merasakan dihargai/dihormati
Setiap
pasien yang berada pada fase penyakit terminal perlu dihormati dan dihargai sebagai
manusia (Ruland & Moore, 1998, p. 172). Konsep ini menggabungkan ide yang bernilai
pribadi, seperti yang diungkapkan oleh prinsip etis otonomi dan menghormati orang,
yang menyatakan bahwa individu harus diperlakukan sebagai individu yang otonom
dan jika seseorang dengan otonomi yang berkurang berhak atas perlindungan
(United States, 1978).
4.
Merasakan kedamaian
Kedamaian
yaitu merasakan ketenangan, kesesuaian/keselarasan dan kepuasaan serta bebas
dari ansietas, kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan (Ruland & Moore,
1998, p. 172). Kondisi damai meliputi fisik, psikologis dan spiritual
5.
Kedekatan dengan orang yang berarti dalam hidup dan yang telah merawat pasien
Kualitas hidup didefinisikan dan
dievaluasi sebagai wujud kepuasan melalui hasil penilaian empiris seperti penanganan
tehadap gejala dan kepuasan dengan hubungan interpersonal. Memasukkan pilihan-pilihan
pasien ke dalam keputusan perawatan merupakan pertimbangan yang tepat.
Teori ini menjelaskan hidup yang berkualitas
sebagai keadaan di mana seseorang mendapatkan apa yang diinginkan, sebuah
pendekatan yang dirasa tepat untuk memberikan perawatan pada seseorang yang
ingin menghadapi kematian dengan damai.
Karena teori peace end of life berasal
dari standar pelayanan yang ditulis oleh tim perawat ahli yang menangani masalah
praktek, konsep metaparadigma yang melekat dalam mengatasi fenomena keperawatan,
perawatan kompleks dan holistik diperlukan untuk mendukung peace end of life.
Ada dua asumsi yang diidentifikasi oleh
Ruland and Moore’s (1998) dalam teori peace end of life yaitu:
a. Kejadian dan perasaan pada end of life
bersifat personal dan individual.
b. Pelayanan keperawatan memiliki peran
penting dalam menciptakan pengalaman end of life ini. Perawat mengkaji dan
menginterprestasikan petunjuk yang merefleksikan pengalaman end of life pasien
dan memberikan intervensi seperlunya untuk mendapatkan atau mempertahankan
pengalaman penuh kedamaian bahkan terhadap pasien sekarat yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal sekalipun.