Makalah Dasar Dasar Imunologi
06:36
Edit
DASAR DASAR IMUNOLOGI
Makalah
Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Biologi
Dosen pengampu : Jumaedy. S.Pd., M.Kes
Disusun Oleh :
1.
Dita Meiva Indriani (4201.0111.A.1..)
2.
Feri Rizky D (4201.0111.A.1..)
3.
Riana Budi Arti (4201.0111.A.1..)
4. Yunani (4201.0111.A.1..)
5.
Zahrotul Laily Luthfiyani (4201.0111.A.1..)
S1 Keperawatan
STIKes Cirebon Kampus 2 RS Ciremai
Jl. Kesambi No.237 Cirebon Telp. (0231)
248947
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat
Allah SWT. bahwa kami telah menyelesaikan
tugas mata kuliah Biologi
dengan membahas Dasar-dasar Imunologi
dalam bentuk makalah.
Makalah ini kami tulis berdasarkan hasil pencarian kami dari beberapa
sumber. isi makalah ini mencakup tentang
sejarah
imunologi, pengertian imunologi, fungsi sistem imun, respon imun, jenis-jenis
imun, pengertian antigen dan antibodi, penjelasan sistem komplemen, sel -sel
sistem imun dan reaksi hipersensitivitas.
Makalah ini di harapkan cukup untuk memberikan pengertian tentang dasar-dasar
imunologi, walaupun tidak secara
detail.
Sudah tentu makalah ini masih jauh dari sempurna dan juga masih banyak
kekurangannya. Maka saran, petunjuk
pengarahan, dan bimbingan dari berbagai pihak sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini mendapat Ridho dari Allah SWT, dan bisa bermanfaat
bagi kita semua.
Cirebon, 10 Juni 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar .... i
Daftar
Isi .... ii
Bab
I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... .... 1
Bab
II Isi
2.1 Sejarah Imunologi................................................................................................ .... 2
2.2 Pengertian Imunologi........................................................................................... .... 3
2.3 Fungsi Sistem Imunologi.......................................................................................... 4
2.4 Respon Imunologi..................................................................................................... 5
2.5 Jenis-jenis Imunologi................................................................................................ 6
2.6 Pengertian Antigen dan Antibody............................................................................ 7
2.7 Sistem Komplemen................................................................................................... 8
2.8 Sel-sel Sistem Imunologi.......................................................................................... 9
2.9 Reaksi Hipersensitivas.............................................................................................. 10
Bab
III Penutup
3.1 Kesimpulan .... 8
Daftar
Pustaka .... 9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi
kesehatan, tentunya harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga,
dan terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa
beracun hadir dalam tubuh, maka harus segera dikeluarkan.
Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup.
Dalam tubuh yang sehat terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya
tahan tubuh terhadap penyakit juga prima. Pada bayi yang baru lahir,
pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa
sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya tahan tubuh bayi. Semakin
dewasa, sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna. Namun, pada orang lanjut
usia, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya timbul
penyakit degeneratif atau penyakit penuaan.
Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan serba
cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada pola makan. Sarapan di dalam
kendaraan, makan siang serba tergesa, dan malam karena kelelahan tidak ada
nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang
berolahraga, dan stres. Apabila terus berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun,
lesu, cepat lelah, dan mudah terserang penyakit. Karena itu, banyak orang yang
masih muda mengidap penyakit degeneratif.
Kondisi
stres dan pola hidup modern sarat polusi, diet tidak seimbang, dan kelelahan
menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala
menurunnya daya tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai
penyakit infeksi, penuaan dini pada usia produktif.
1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimana sejarah imunologi?
b. Apa pengertian imunologi?
c. Apa fungsi sistem imun?
d. Bagaimana respon imun?
e. Apa saja jenis-jenis imun?
f. Apa yang dimaksud dengan antigen dan
antibody?
g. Apa yang dimaksud sistem komplemen?
h. Apa saja sel-sel sistem imun?
i.
Bagaimana reaksi hipersensitivitas?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah imunologi
2. Untuk mengetahui pengertian
imunologi
3. Untuk mengetahui fungsi sistem imun
4. Untuk mengetahui bagaimana respon
imun
5. Untuk mengetahui apa saja
jenis-jenis imun
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan antigen dan antibody
7. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
sistem komplemen
8. Untuk mengetahui apa saja sel-sel
sistem imun
9. Untuk mengetahui bagaimana reaksi
hipersensitivitas
BAB II
ISI
2.1 SEJARAH IMUNOLOGI
Pada
mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh,
terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546,
Girolamo Fracastoro mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa
pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit
tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil
sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat
diidentifikasi.
1. Edwar Jenner
Pada
tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari
infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar
sapi (cow pox). Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar
walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya
terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak diiringi dengan kemajuan
dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya
mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat
ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru
dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit
infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ
theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya
vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian
merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian
gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas
dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
2. Robert Koch
Pada
tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam
rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi
tuberkulin (1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit
terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908)
dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai
dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap
tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal
dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak
hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup
pun dapat menginduksi kekebalan.
3. Alexander Yersin Dan Roux
Setelah
Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan
Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu
dimulailah pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi
diterapkan dalam pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum
kebal ini di kemudian hari berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin
spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari manusia.
4. Clemens von pirquet
Dengan
pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum
ini. Dua orang dokter anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick
dari Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan
serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar,
dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu
peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa
reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada
anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu
kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan).
Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian
toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906) memakai istilah
reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley
mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit dengan gejala klinis
konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit
ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer
(1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).
Pada
tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan
cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit.
Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan
harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih
dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal
dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut
adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody).
Dengan
penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji
gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada
anak. Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu-
bungan antara asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores
dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang
peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick juga memperkenalkan uji
kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman difteri, sehingga
makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada
tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease)
terhadap sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi
sebagai hay fever, asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi
diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi diterapkan dalam kelainan dan
penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian
besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe
ekstrinsik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang
menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum
penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum diketahui.
Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan molekular yang
terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan
klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama
dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis
penyakit.
Dengan
ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena
imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit
sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum
penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah
Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan
darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan
reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru
dapat dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939,
141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara
elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang
kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis
diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG,
IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas
tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan
struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan
asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang
dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh
Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin
E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE,
dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
5. Metchnikoff
Pada
tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh
tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam
pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru
dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang
kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk
eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good dari penelitiannya
pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu
populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit T,
serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan
dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara
limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat
pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi
antibodi.
2.2
PENGERTIAN
Sistem
imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel
dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan
benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus,
serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem
kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga
menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat
berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap
sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan
resiko terkena beberapa jenis kanker.
2.3
FUNGSI
SISTEM IMUN
Melindungi
tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan menghilangkan
mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta
tumor) yang masuk ke dalam tubuh, Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau
rusak untuk perbaikan jaringan, Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
Dan Sasaran utama yaitu bakteri patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun
utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).
2.4
RESPONS
IMUN
Tahap :
Deteksi
dan mengenali benda asing, Komunikasi dengan sel lain untuk berespons, Rekruitmen
bantuan dan koordinasi respons dan estruksi atau supresi penginvasi
2.5. JENIS-JENIS SISTEM
IMUN
1. Sistem imun non spesifik
,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan )
Merupakan
pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut nonspesifik
karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
Terdiri
dari:
a) Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir , silia
saluran pernafasan, batuk, bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen
kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir
yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
b) Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran
nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga, spermin dalam semen,
mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. asam
HCL dalam cairan lambung , lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan air
susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan
menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam
neuraminik yang mempunyai sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag
dapat menghancurkan kuman gram negatif dan hal tersebut diperkuat oleh
komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zan besi yang
dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas.
c) Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi
berperan pada pertahanan tubuh secara humoral. Bahan-bahan tersebut adalah:
Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan
membantu destruktif bakteri dan parasit karena:
Komplemen dapat menghancurkan sel
membran bakteri
Merupakan faktor kemotaktik yang
mengarahkan makrofag ke tempat bakteri
Komponen komplemen lain yang
mengendap pada permukaan bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan memfagositosis
(opsonisasi).
Interferon
Adalah suatu glikoprotein yang
dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepaskan
sebagai respons terhadap infeksi virus. Interveron mempunyai sifat anti virus
dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga
menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat
mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau
menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut
akan dikenal oleh sel NK yang kemudian membunuhnya. Dengan demikian penyebaran
virus dapat dicegah.
C-Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin
dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP
merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau lebih) setelah
infeksi atau inflamasi akut.
CRP berperanan pada imunitas non
spesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul
yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
d) Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK
berperanan dalam sistem imun non spesifik seluller.
Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh
dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang berperaan dalam pertahanan
non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklear seperti neutrofil.
Dalam kerjanya sel fagosit juga
berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman
terjadi dalam beberapa tingakt sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan
(fagosistosis), membunuh dan mencerna. Kemotaksis adalah gerakan fagosit
ketempat infekis sebagai respon terhadap berbagai factor sperti produk bakteri
dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody seperti
pada halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis
(opsonisasi). Antigen yang diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh
fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya
reseptor untuk fraksi Fc dari immunoglobulin pada permukaan fagosit.
Natural Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang
ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel limfoid dari siitem
imun spesifik, maka karenan itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel
poplasi ketiga.
Sel NK dapat menghancurkan sel yang
mengandung virus atau sel neoplasma dan interveron meempunyai pengaruh dalam
mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK.
2. Sistem imun spesifik atau adaptasi
Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing. Benda asing
yang pertama kali muncul dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi
sensitiasi sel-sel imun tersebut. Bila sel imun tersebut berpapasan kembali
dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal
lebih cepat, kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut
hanya mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu
disebut spesifik.sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara
antibodi, komplemen , fagosit dan antara sel T makrofag.
Sistem imun spesifik ada 2 yaitu;
a) Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun
humoral adalah limfosit B atau sel B. sel B tersebut berasal dari sel asal
multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan
berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat menbentuk zat anti
atau antibody. Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam serum. Funsi utama
antibody ini ialah untuk pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri
(ekstraseluler), dan dapat menetralkan toksinnya.
b) Sistem imun spesifik selular
Yang berperanan dalam sistem imun
spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. sel tersebut juga berasal dari
sel asal yang sama dari sel B. factor timus yang disebut timosin dapat
ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan
pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B , sel T
terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai fungsi berlainan. Fungsi utama
sel imun spesifik adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.
Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
Alamiah
Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah
pemindahan antibody atau sel darah putih yang disensitisasi dari badan seorang
yang imun ke orang lain yang imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari
ibu ke anak.
Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi
bila suatu mikoorgansme secara alamiah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan
pembentukan antibody atau sel yang tersensitisasi.
Buatan
Pasif
Imunitas buatan pasif dilakukan
dengan memberikan serum, antibody, antitoksin misalnya pada tetanus, difteri,
gangrengas, gigitan ular dan difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah
disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.
Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan
dengan vaksinasi melalui pemberian toksoid tetanus, antigen mikro organism baik
yang mati maupun yang hidup.
1. Antigen
a)
Pengertian
Antigen
molekul asing yang dapat menimbulkan respon imun spesifik dari limfosit pada
manusia dan hewan. Antigen meliputi molekul yang dimilki virus, bakteri,
fungi, protozoa dan cacing parasit. Molekul antigenic juga ditemukan pada
permukaan zat-zat asing seperti serbuk sari dan jaringan yang
dicangkokkan. Sel B dan sel T terspesialisasi bagi jenis antigen yang
berlainan dan melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling
melengkapi (Baratawidjaja 1991: 13; Campbell,dkk 2000: 77).
b) Letak Antigen
Antigen
ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem
kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat
dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama
dalam produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi
dapat juga berupa molekul Iainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein
dan polisakarida yang bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan
bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
c) Karakteristik
Karakteristik
antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon imun adalah sebagai berikut:
Asing (berbeda dari self )
Pada
umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik,
jadi untuk menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai nonself.
Ukuran molekul
Imunogen
yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran besar. Molekul
dengan berat molekul kurang dari 10.000 kurang bersifat imunogenik dan yang
berukuran sangat kecil seperti asam amino tidak bersifat imunogenik.
Kompleksitas kimiawi dan struktural
Jumah
tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya homopolimer asam
amino kurang bersifat munogenik dibandingkan dengan heteropolimer yang
mengandung dua atau tiga asam amino yang berbeda.
Determinan antigenic (epitop)
Unit
terkecil dari antigen kompleks yang dapat dikat antibody disebut dengan
determinan antigenic atau epitop. Antigen dapat mempunyai satu atau lebih
determinan. Suatu determinan mempunyai ukuran lima asam amino atau gula.
Tatanan genetic penjamu
Dua strain binatang dari spesies yang
sama dapat merespon secara berbeda terhadap antigen yang sama karena perbedaan
komposisi gen respon imun.
Dosis, cara dan waktu pemberian
antigen
Respon
imun tergantung kepada banyaknya natigen yang diberikan, maka respon imun
tersebut dapat dioptmalkan dengan cara menentukan dosis antigen dengan cermat
(termasuk jumlah dosis), cara pemberian dan waktu pemberian (termasuk interval
diantara dosis yang diberikan)
d)
Pembagian Antigen
Secara fungsional
Imunogen, yaitu molekul besar
(disebut molekul pembawa).
Hapten, yaitu kompleks yang terdiri
atas molekul kecil.
Pembagian antigen menurut epitop
Unideterminan, univalent yaitu hanya
satu jenis determinan atau epitop pada satu molekul.
Unideterminan, multivalent yaitu
hanya satu determinan tetapi dua atau lebih determian tersebut ditemukan pada
satu molekul.
Multideterminan, univalent yaitu
banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya
(kebanyakan protein).
Multideterminan, multivalent yaitu
banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul
(antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi).
(Baratawidjaja 1991: 14)
Pembagian antigen menurut
spesifisitas
Heteroantigen, yaitu antigen yang
terdapat pada jaringan dari spesies yang berbeda.
Xenoantigen yaitu antigen
yang hanya dimiliki spesies tertentu.
Alloantigen (isoantigen)
yaitu antigen yang spesifik untuk individu dalam satu spesies.
Antigen organ spesifik, yaitu
antigen yang dimilki oleh organ yang sama dari spesies yang berbeda.
Autoantigen, yaitu antigen yang
dimiliki oleh alat tubuh sendiri (Baratawidjaja 1991: 14-15;
Sell : 9–10).
Pembagian antigen menurut
ketergantungan terhadap sel T
T dependent yaitu antigen
yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B untuk dapat menimbulkan respons
antibodi. Sebagai contoh adalah antigen protein.
T independent yaitu antigen
yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel Tuntuk membentuk antibodi.
Antigen tersebut berupa molekul besar polimerik yang dipecah di dalam badan
secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran,
levan, dan flagelin polimerik bakteri.(Baratawidjaja 1991: 15).
Pembagian antigen menurut sifat
kimiawi
Hidrat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya
imunogenik. Glikoprotein dapat menimbulkan respon imun terutama
pembentukan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO,
mempunyai sifat antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida
pada permukaan sel darah merah.
Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik,
tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier. Lipid
dianggap sebagai hapten, sebagai contoh adalah sphingolipid.
Asam nukleat
Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi
menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier. DNA dalam
bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respon imun terhadap DNA
terjadi pada penderita dengan SLE.
Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik
dan pada umunya multideterminan univalent.(Baratawidjaja 1991: 15)
e) Reaksi Antigen dan Antibodi
Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi
bermolekul kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa
menjadi antigen bila dia melekat pada protein tubuh kita yang dikenal dengan
istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari barier respon non
spesifik (eksternal maupun internal), kemudian substansi tersebut masuk dan
berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen,
sel-sel-B menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada
membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Sebuah antigen
merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul
immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu.
Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama.
Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder
yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10
sampai 100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya
bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen
untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas.
Terdapat
berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.
2. Antibodi
a) Pengertian
Antibodi adalah protein immunoglobulin yang disekresi oleh
sel B yang teraktifasi oleh antigen. Antibodi merupakan senjata yang tersusun
dari protein dan dibentuk untuk melawan sel-sel asing yang masuk ke tubuh
manusia. Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok prajurit pejuang
dalam sistem kekebalan. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh penyerbu.
b) Fungsi
Untuk mengikatkan diri kepada
sel-sel musuh, yaitu antigen.
Membusukkan struktur biologi antigen
tersebut lalu menghancurkannya.
c) Sifat Antibodi
Antibodi mempunyai sifat yang sangat luar biasa, karena
untuk membuat antibodi spesifik untuk masing-masing musuh merupakan proses yang
luar biasa, dan pantas dicermati. Proses ini dapat terwujud hanya jika sel-sel
B mengenal struktur musuhnya dengan baik. Dan, di alam ini terdapat jutaan
musuh (antigen). Dia mengetahui polanya berdasarkan perasaan. Sulit bagi
seseorang untuk mengingat pola kunci, walau cuma satu, Akan tetapi, satu sel B
yang sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata, menyimpan jutaan bit
informasi dalam memorinya, dan dengan sadar menggunakannya dalam kombinasi yang
tepat.
d) Proses Pembentukan Antibodi
Antibodi terbentuk secara alami di
dalam tubuh manusia dimana substansi tersebut diwariskan dari ibu ke janinnya
melalui inntraplasenta. Antibody yang dihasilkan pada bayi yang baru lahir
titier masih sangat rendah, dan nanti antibody tersebut berkembang seiring
perkembangan seseorang.
Pembentukan antibody karena
keterpaparan dengan antigen yang menghasilkan reaksi imunitas, dimana prosesnya
adalah:
Misalnya
bakteri salmonella. Saat antigen (bakteri salmonella) masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan meresponnya karena itu dianggab sebagai benda asing. karena
bakteri ini sifatnya interseluler maka dia tidak sanggup untuk di hancurkan
dalam makrofag karena bakteri ini juga memproduksi toksinsebagai pertahanan
tubuh. Oleh karena itu makrofag juga memproduksi APC yang berfungsi
mempresentasikan antigen terhadap limfosit.agar respon imun berlangsung dengan
baik.Ada dua limfosit yaitu limfosit B dan limfosit T.
e) Klasifikasi Antibodi
IgG (Imuno
globulin G)
IgG merupakan antibodi yang paling umum. Dihasilkan hanya
dalam waktu beberapa hari, ia memiliki masa hidup berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa tahun. IgG beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada
darah, sistem getah bening, dan usus. Mereka mengikuti aliran darah, langsung
menuju musuh dan menghambatnya begitu terdeteksi. Mereka mempunyai efek kuat
anti-bakteri dan penghancur antigen. Mereka melindungi tubuh terhadap bakteri
dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun.
Selain
itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta musuh
mikroorganis yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit. Karena kemampuannya serta
ukurannya yang kecil, mereka dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan
melindungi janin dari kemungkinan infeksi. Jika antibodi tidak diciptakan
dengan karakteristik yang memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam plasenta,
maka janin dalam rahim tidak akan terlindungi melawan mikroba. Hal ini dapat
menyebabkan kematian sebelum lahir. Karena itu, antibodi sang ibu akan melindungi
embrio dari musuh sampai anak itu lahir.
IgA (Imuno
globulin A)
Antibodi ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan
antigen seperti air mata, air liur, ASI, darah, kantong-kantong udara, lendir,
getah lambung, dan sekresi usus. Kepekaan daerah tersebut berhubungan langsung
dengan kecenderungan bakteri dan virus yang lebih menyukai media lembap seperti
itu. Secara struktur, IgA mirip satu sama lain. Mereka mendiami bagian tubuh
yang paling mungkin dimasuki mikroba. Mereka menjaga daerah itu dalam
pengawasannya layaknya tentara andal yang ditempatkan untuk melindungi daerah
kritis.
Antibodi
ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat dalam kandungan. Setelah
kelahiran, mereka tidak akan meninggalkan sang bayi, melainkan tetap melindunginya.
Setiap bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan ibunya, karena IgA tidak
terdapat dalam organisme bayi yang baru lahir. Selama periode ini, IgA yang
terdapat dalam ASI akan melindungi sistem pencernaan bayi terhadap mikroba.
Seperti IgG, jenis antibodi ini juga akan hilang setelah mereka melaksanakan
semua tugasnya, pada saat bayi telah berumur beberapa minggu.
IgM (Imuno
globulin M)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada
permukaan sel B. Pada saat organisme tubuh manusia bertemu dengan antigen, IgM
merupakan antibodi pertama yang dihasilkan tubuh untuk melawan musuh. Janin
dalam rahim mampu memproduksi IgM pada umur kehamilan enam bulan. Jika musuh
menyerang janin, jika janin terinfeksi kuman penyakit, produksi IgM janin akan
meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi atau tidak, dapat
diketahui dari kadar IgM dalam darah.
IgD (Imuno
globulin D):
IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Mereka
tidak mampu untuk bertindak sendiri-sendiri. Dengan menempelkan dirinya pada
permukaan sel-sel T, mereka membantu sel T menangkap antigen.
IgE (Imuno
globulin E)
IgE
merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah. Antibodi ini bertanggung
jawab untuk memanggil para prajurit tempur dan sel darah lainnya untuk
berperang. Antibodi ini kadang juga menimbulkan reaksi alergi pada tubuh.
Karena itu, kadar IgE tinggi pada tubuh orang yang sedang mengalami alergi.
2.7 SISTEM KOMPLEMEN
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari
seperangkat kompleks protein yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada
kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi darah dalam keadaan tidak aktif,
yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak tergantung satu
dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem
komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi
biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi
sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya
juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut
seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks
antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi
kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel
hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi
darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar.
Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit mononuklear terutama akan disintesis
ditempat dan waktu terjadinya aktivasi. Sebagian dari komponen protein
komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8
dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut
cara kerjanya
1. Aktivasi Komplemen
a) Aktivasi komplemen jalur klasik
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur
intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.
Regulasi jalur klasik, terjadi
melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3
konvertase.
Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas
proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam
peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks
antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
Penghambatan C3 konvertase
Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.
b) Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin,
terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1
,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM. Pada keadaan
normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam jumlah yang
sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik
yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen
C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B
membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif
(C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan
terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya.
Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan
selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat
dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) . Tetapi bila pada suatu saat
ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan menstabilkan
C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan
C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan
atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin,
zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi
jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya
IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.
Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel
sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka
aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih
diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan
akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal
ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh
karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh
proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H
dan faktor I. Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah
lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan
pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada
pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan
dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur
altematif (kompleks serangan membran).
2. Efek Biologik Komplemen
Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi
dalam dua golongan besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran,
dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.
a) Sitolisis
Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang
berfungsi adalah C5-C9. Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh
melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat melalui jalur alternatif maupun
jalur klasik.
b) Sifat biologik aktif
Opsonisasi
dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan
iC3b mungkin merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan
jamur secara sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana bakteri
disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan dengan antibodi IgG atau
IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor spesifik yang
terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu
untuk terjadinya fagositosis.
Anafilaksis
dan kemotaksis
C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat
memacu sel mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat
meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor C3a dan
C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos dan limfosit.
Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil, netrofil, monosit,
makrofag, dan sel endotelium.
Melekatnya
anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos menyebabkan kontraksi
otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang paling poten dan C4a
adalah yang paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan
C4a; oleh karena C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan
sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke
tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang rusak; proses ini disebut
kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang metabolisme oksidatif
dari sel fagosit tersebut sehingga dapat meningkatkan daya untuk memusnahkan
mikroorganisme atau benda asing tersebut
Proses
peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas
mengakibatkan terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk
terjadinya proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing
tersebut; proses ini disebut peradangan.
Pelarutan
dan eliminasi kompleks imun
Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam
sirkulasi, dan dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan
antigen. Kompleks imun ini bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh karena
dapat mengendap pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi komplemen dan
menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan kompleks imun bilamana berlebihan,
tidak hanya membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc.
Oleh karena itu pengikatan komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun
dapat membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.
Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan
ini, sistem komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama
oleh reseptor yang terdapat pada permukaan eritrosit. Kompleks imun yang
beredar mengaktifkan komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada
antigen. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan
eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel
fagosit dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun
yang terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.
3. Regulasi
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama,
yaitu
a) komponen komplemen yang sudah
diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak stabil sehingga bila tidak
berikatan dengan komplemen berikutnya akan rusak,
b) adanya beberapa inhibitor yang
spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H,
c) pada permukaan membran sel terdapat
protein yang dapat merusak fragmen komplemen yang melekat.
Regulasi
jalur klasik Regulasi
jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1
inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
Regulasi
jalur alternatif
Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh
beberapa protein dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran.
Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan C3b. Juga
CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b sehingga berkompetisi dengan faktor B.
Dengan adanya hambatan ini maka pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat.
Faktor I, menghambat pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I dibantu
oleh kofaktor H, CR1 dan MCP. Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal melekat
pada permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3
konvertase, selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.
2.8 SEL-SEL SISTEM IMUN
1.
Sel-Sel Sistem Imun Nonspesifik
Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah
agen pencetus pernah atau belum pernah dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu
diaktivasi terlebih dahulu seperti pada sistem imun spesifik. Lebih jauh lagi
respon imun non spesifik merupakan lini pertama pertahanan terhadap berbagai
faktor yang mengancam. Sel-sel yang berperan dalamnsistem imun nonspesifik
adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator.
a) Sel Fagosit
Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan
fagosit polimorfonuklear. Fagosit mononuclear terdiri dari sel monosit dan sel
makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear terdiri dari neutrofil dan
eusinofil.
Sel
Monosit dan Sel Makrofag
Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %.
Monosit bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam, kemudian bermigrasi
ke dalam jaringan, dan berkembang menjadi makrofaga (macrophage) besar
(pemangsa besar). Makrofaga jaringan, yang merupakan sel-sel fagositik
terbesar, adalah fagosit yang sangat efektif dan berumur panjang. Sel-sel ini
menjulurkan kaki semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke
polisakarida pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum kemudian
dirusak oleh enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu.
Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara
yang lain tetap tinggal secara permanen dalam jaringan tertentu: dalam
paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel Kupffer), ginjal (sel-sel
mesangial), otak (sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan pada
limpa, nodus limfa, serta jaringan limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba,
dan molekul asing yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka
terjerat dalam bangun limpa yang mirip dengan jarring, sementara yang berada
dalam cairan jaringan mengalir ke dalam limfa dan disaring melalui nodus limfa.
Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk
menghindari perusakan oleh sel fagositik. Beberapa bakteri mempunyai kapsul
bagian luar yang tidak dapat ditempeli makrofaga. Contoh bakteri tersebut adalah
Mycobacterium tuberculosis, yang bersifat resisten terhadap perusakan oleh
lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam makrofaga.
Sel
Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal
myeloid dalam sumsum tulang. Jumlahnya sekitar 60-70% dari semua sel darah
putih (leukosit). Neutrofil adalah fagosit pertama yang tiba, diikuti oleh
monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga besar dan aktif. Sel-sel yang
dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal kimiawi yang menarik
neutrofil dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki jaringan yang
terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada disana. (Migrasi menuju
sumber zat kimia yang mengundang ini disebut kemotaksis). Di dalam neutrofil
terdapat enzim lisozim dan laktoferin untuk menghancurkan bakteri atau benda
asing lainnya yang telah difagositosis. Setelah memfagositosis 5-20 bakteri,
neutrofil mati dengan melepaskan zat-zat limfokin yang mengaktifasi makrofag.
Biasanya, neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam karena
neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak penyerang asing.
Sel
Eusinofil
Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari
sel bakal myeloid. Ukuran sel ini sedikit lebih besar daripada neutrofil dan
berfungsi juga sebagai fagosit. Eosinofil berjumlah 2-5% dari sel darah putih.
Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah dikaitkan dengan keadaan-keadaan
alergi dan infeksi parasit internal (contoh, cacing darah atau Schistosoma
mansoni). Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk dapat difagositosis
oleh eosinofil atau oleh sel fagositik lain, namun eosinofil dapat melekatkan
diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan
yang dapat membunuh banyak parasit. Selain itu, eosinofil juga memiliki
kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan yang memiliki reaksi
alergi. Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh
sel mast dan basofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan yang
meradang. Sel fagosit terutama makrofag dan neutrofil; memiliki peran besar
dalam proses peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel fagosit juga
berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik lainnya.
b) Sel Nol
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi
tidak mengandung petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh karena
itu disebut sel nol. Sel ini beredar dalam pembuluh darah sebagai limfosit
besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang memiliki kemampuan mengenal
dan membunuh sel abnormal, seperi sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus.
Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler.
Sel jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang ini juga
tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10 % – 20 % bagian dari
limfosit perifer. Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan limfosit T.
c) Sel Mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast,
dan trombosit. Sel tersebut disebut sebagai mediator dikarenakan melepaskan
berbagai mediator yang berperan dalam sistem imun.
Sel
basofil dan sel mast
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya
dan diduga juga dapat berfungsi sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural
dan fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah
tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Awalnya sel basofil dianggap
berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi para peneliti
membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal
dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat. Ada dua macam sel mast yaitu
terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan di
sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah heparin dan histamine. Sel mast
yang kedua ditemukan di slauran cerna dan napas. Proliferasinya dipacu IL-3 dan
IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit. Baik sel basofil maupun sel mast
memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat diaktifkan oleh alergen
spesifik yang berkaitan dengan antibodi IgE. Kemudian bila terdapat alergen
spesifik berikutnya yang bereaksi dengan antibodi, maka perlekatan keduanya
menyebabkan sel mast atau basofil rupture dan melepaskan banyak sekali
histamin, bradikinin, serotonin, heparin, substansi anafilaksis yang bereaksi
lambat, dan sejumlah enzim lisosomal. Bahan-bahan inilah yang menyebabkan
manifestasi alergi. Selain itu keduanya pun dapat membentuk dan menyimpan
heparin dan histamin.
Trombosit
Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit
besar di sumsum tulang belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan daerah
yang meradang, dimana apabila terpajan ke tromboplastin jaringan di jaringan
yang cedera maka fibrinogen, yang telah diaktifkan melalui proses berjenjang
yang melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor pembekuan, diubah menjadi
fibrin. Fibrin inilah yang membentuk bekuan cairan interstitiumdi ruang-ruang
di sekitar bakteri dan sel yang rusak.
2.
Sel-sel Sistem Imun Spesifik
a)
Sel T
Karakteristik
Sel T
Sel T tidak mengeluarkan antibodi.
Sel –sel ini harus berkontak langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal
sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity, imunitas
seluler).
Bersifat klonal dan sangat spesifik
antigen. Di membran plasmanya, setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor
unik.
Sel T diaktifkan oleh antigen asing
apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda
identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing maupun antigen
diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti keduanya.
Tidak semua turunan sel T yang
teraktivasi menjadi sel T efektor. Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi
sebagai cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat dan kuat
apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh.
Selama pematangan di timus, sel T
mengenal antigen asing dalam kombinasi dengan antigen jaringan individu itu
sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya
Diperlukan waktu beberapa hari
setelah pajanan antigen tertentu sebelum sel T teraktivasi besiap untuk
melancarkan serangan imun seluler.
Subpopulasi
sel T
Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel
dari sel klon sel T komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama
beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T teraktivasi yang melaksanakan
berbagai respons imunitas seluler. Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung
pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen.
Sel Tc (cytotocic)
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen
asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel
cangkokan.
Sel Th (helper)
Berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi,
memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan (supresor) yang sesuai,
dan mengaktifkan makrofag.
Sel Ts (supperssor)
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel
T sitotoksik dan penolong. Sebagian besar dati milyaran Sel T diperkirakan
tergolong dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara langsung
ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik. Kedua subpopulasi
tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel B
dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
Sel Tdh (delayed hypersensitivity)
Merupakan sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel
inflamasi lainnya ketempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Dalam fungsinya, sel Tdh sebenarnya menyerupai sel Th.
Limfokin
Dalam biakan sel limfosit T dapat ditemukan berbagai bahan
yang mempunyai efek biologic. Bahan-bahan tersebut disebut limfokin dan dilepas
sel T yang disensitisasi. Beberapa jenis limfokin yaitu: interleukin,
interferon, factor supresor, factor penolong , dan sebagainya.
b)
Sel B
Sel B merupakan 5-15 % dari jumlah
seluruh limfosit dalam sirkulasi. Fungsi utamanya ialah memproduksi antibodi.
Sel B ditandai dengan adanya immunoglobulin yang dibentuk didalam sel dan
kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang selanjutnya
berfungsi sebagai reseptor antigen. Kebanyakan sel perifer mengandung IgM dan
IgD dan hanya beberapa sel yang mengandung IgG, IgA, dan IgE, pada
permukaannya. Sel B dengan IgA banyak ditemukan dalam usus. Antibody permukaan
tersebut dapat ditemukan dengan teknik imunofluoresen.
2.9 REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat
dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II
hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang
diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut
sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity. Pembagian
reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah
evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali
keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan
mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi
yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa
tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama
cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun
1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini
allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan
dibentuknya Ig E.
Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
a) Fase Sensitasi
Waktu
yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
pada permukaan sel mastosit dan basofil.
b) Fase Aktivasi
Waktu
selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas
isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c) Fase Efektor
Waktu
terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang
dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
IgE
yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh
mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap untuk
beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum
(darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang
normal.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi
karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan
komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada
atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan
adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau
stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah
distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik,
reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya
adalah sebagai berikut :
a) Fagositosis sel melalui proses
apsonik adherence atau immune adherence
b) Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh
sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
c) Lisis sel
karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
3. Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi
kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang
mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf,
yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari
infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora
jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan
sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah
berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat,
cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi
tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen.
Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan
reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai
dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami
transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen
yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti
reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll).
Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein
yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat
dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang
telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel
limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel
target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini
ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi
oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis,
histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem
imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar,
sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan
melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam
tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
DAFTAR PUSTAKA
file:///G:/Fungsi%20 imunologi _dasar.htm