perjuangan pembebasan irian barat
03:33
Edit
Setelah
proses pengakuan kedaulatan Indonesia masih mempunyai satu permasalahan
dengan Belanda yaitu masalah Irian Barat. Gambar di atas pasukan Brimob
yang diterjunkan di Fak-Fak, Irian Barat pada tanggal 15 Mei 1962 untuk
merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Langkah apa yang dilakukan
pemerintah? Seringkali di masyarakat terjadi kasus persengketaan
antarsaudara atau dengan tetangga disebabkan rebutan batas tanah.
Persengkataan ini seringkali meretakkan hubungan bersaudara maupun
bertetangga. Sebab dalam masalah hak tanah seringkali orang
mempertahankan mati-matian, bahkan orang Jawa mengatakan ”Sedumuk Bathuk
Senyari Bumi”. Maksudnya, dalam mempertahankan hak tanah mereka
memperjuangkan walaupun sampai titik darah penghabisan. Begitu juga
bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan wilayah Irian Barat
(sekarang Papua) ketika hendak diduduki Belanda setelah diakuinya
kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949. Bangsa Indonesia harus
berjuang dengan berbagai macam cara untuk merebut kembali Irian Barat.
Bagaimana perjuangan bangsa untuk memperoleh haknya kembali atas Irian
Barat akan kita pelajari dalam bab ini. Dengan mempelajari bab ini kita
dapat meneladani para pejuang kita yang berjiwa ksatria dalam
mempertahankan haknya sebagai bangsa yang utuh dari Sabang sampai
Merauke.
A Latar Belakang Terjadinya Perjuangan Mengembalikan Irian Barat
Masih ingatkah kalian tentang Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diselenggarakan di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus sampai 2
September 1949? Salah satu keputusan dalam konferensi tersebut antara
lain bahwa masalah Irian Barat akan dibicarakan antara Indonesia dengan
Belanda satu tahun setelah Pengakuan Kedaulatan. Dari keputusan ini
terjadi perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda. Pihak
Indonesia menafsirkan bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia. Tetapi pihak Belanda menafsirkan hanya akan merundingkan saja
masalah Irian Barat. Dalam perjalanan waktu, Belanda tidak mau
membicarakan masalah Irian Barat dengan Indonesia. Untuk menghadapi
sikap Belanda tersebut maka Indonesia melakukan berbagai upaya sebagai
berikut.
B Perjuangan Diplomasi: Pendekatan Diplomasi
Dalam
menghadapi masalah Irian Barat tersebut Indonesia mula-mula melakukan
upaya damai, yakni melalui diplomasi bilateral dalam lingkungan ikatan
Uni Indonesia-Belanda. Akan tetapi usaha-usaha melalui meja perundingan
secara bilateral ini selalu mengalami kegagalan. Setelah upaya-upaya
tersebut tidak mambawa hasil maka sejak tahun 1953 perjuangan pembebasan
Irian Barat mulai dilakukan di forum- forum internasional, terutama PBB
dan forum-forum solidaritas Asia-Afrika seperti Konferensi Asia-Afrika.
Sejak tahun 1954 masalah Irian Barat ini selalu dibawa dalam acara Sidang Majelis Umum PBB, namun upaya ini pun tidak memperoleh tanggapan yang positif. Setelah upaya-upaya diplomasi tidak mencapai hasil maka pemerintah mengambil sikap yang lebih keras yakni membatalkan Uni Indonesia-Belanda dan diikuti pembatalan secara sepihak persetujuan KMB oleh Indonesia pada tahun 1956. Partai-partai politik dan semua golongan mendukung terhadap upaya pembebasan Irian Barat ini. Selain itu perjuangan merebut Irian Barat diresmikan pemerintah maka ditetapkanlah Soa-Siu di Tidore sebagai ibu kota provinsi Irian Barat dan Zainal Abidin Syah ditetapkan menjadi Gubernur pada tanggal 23 September 1956.
C Perjuangan dengan Konfrontasi Politik dan Ekonomi
Berbagai
upaya yang dilakukan Indonesia tersebut sampai tahun 1957 ternyata
belum membawa hasil sehingga Belanda tetap menduduki Irian Barat. Karena
jalan damai yang ditempuh belum membawa hasil maka sejak itu perjuangan
ditingkatkan dengan melakukan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di
seluruh tanah air Indonesia yang dimulai dengan pengambilalihan
perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
diambilalih oleh bangsa Indonesia pada bulan Desember 1957 tersebut
antara lain Nederlandsche Handel Maatschappij N.V. (sekarang menjadi
Bank Dagang Negara), bank Escompto di Jakarta serta Perusahaan Philips
dan KLM.
Pada tanggal 17 Agustus 1960 Republik Indonesia secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Kerajaan Belanda. Melihat hubungan yang tegang antara Indonesia dengan Belanda ini maka dalam Sidang Umum PBB tahun 1961 kembali masalah ini diperdebatkan. Pada waktu terjadi ketegangan Indonesia dengan Belanda, Sekretaris Jenderal PBB U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker untuk mengajukan usul penyelesaian masalah Irian Barat. Pada bulan Maret 1962 Ellsworth Bunker mengusulkan agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia yang dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Akhirnya Indonesia menyetujui usul Bunker tersebut dengan catatan agar waktu dua tahun itu diperpendek. Sebaliknya Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau melepaskan Irian bahkan membentuk negara “Boneka” Papua. Dengan sikap Belanda tersebut maka tindakan bangsa Indonesia dari politik konfrontasi ekonomi ditingkatkan menjadi konfrontasi segala bidang.
D Tri Komando Rakyat (Trikora)
Tindakan
Belanda dengan mendirikan negara “Boneka” Papua itu merupakan sikap
yang menantang kepada bangsa Indonesia untuk bertindak cepat. Oleh
karena itu pemerintah segera mengambil tindakan guna membebaskan Irian
Barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno dalam suatu
rapat raksasa di Yogyakarta mengeluarkan komando yang terkenal sebagai
Tri Komando Rakyat (Trikora) yang isinya sebagai berikut.
1) Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan dikeluarkannya Trikora maka mulailah konfrontasi total terhadap Belanda dan pada bulan Januari 1962 pemerintah membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Adapun tugas pokok dari Komando Mandala Pembebasan Irian Barat ini adalah pengembangan operasi-operasi militer dengan tujuan pengembangan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan negara Republik Indonesia. Sebagai Panglima Komando Mandala adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Sebelum Komando Mandala melakukan operasi sudah dilakukan penyusupan ke Irian Barat. Pada tanggal 15 Januari 1962 ketika waktu menunjukkan pukul 21.15 di angkasa terlihat dua buah pesawat terbang pada ketinggian 3000 kaki melintasi formasi patroli ALRI. Diperkirakan pesawat tersebut adalah milik Belanda jenis Neptune dan Firefly. Waktu itu terlihat juga dua buah kapal perusak yang sedang melepaskan tembakan ke arah kapal Motor Torpedo Boat (MTB) yang di situ turut pula para pejabat tinggi dari Markas Besar Angkatan Laut yaitu Komodor Yos Sudarso. Dalam insiden di Laut Aru tersebut Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Pertama (Komodor) Yos Sudarso, bersama Komandan KRI Macan Tutul, Kapten (Laut) Wiratno, dan beberapa prajurit TNI-AL gugur sebagai pahlawan. Sebelum gugur Komodor Yos Sudarso sempat mengucapkan pesan terakhir “ Kobarkan Semangat Pertempuran.” Adapun operasi-operasi yang direncanakan Komando Mandala di Irian Barat dibagi dalam tiga fase, yakni sebagai berikut.
(1) Fase Infiltrasi (sampai akhir 1962)
Memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaran- sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto. Kesatuan-kesatuan ini harus dapat mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat dalam perjuangan fisik untuk membebaskan wilayah tersebut.
(2) Fase Eksploitasi (mulai awal 1963)
Mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
(3) Fase Konsolidasi (awal 1964)
Menegakkan kekuasaan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Selanjutnya antara bulan Maret sampai Agustus 1962 Komando Mandala melakukan operasi-operasi pendaratan baik melalui laut maupun udara. Beberapa operasi tersebut adalah Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana. Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga di Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke. Selain itu juga direncanakan serangan terbuka merebut Irian Barat dengan Operasi Jayawijaya.
E Persetujuan New York
Pada
awalnya Belanda tidak yakin pasukan Indonesia dapat masuk ke wilayah
Irian. Akan tetapi operasi-operasi yang dilakukan Pasukan Komando
Mandala ternyata berhasil terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan
pasukan Indonesia. Sementara itu Pemerintah Kerajaan Belanda sedikit
banyak mendapat tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk berunding
karena untuk mencegah terseretnya Uni Soviet dan Ameriksa Serikat ke
dalam konfrontasi. Dengan adanya rencana Bunker di atas maka sikap
Indonesia adalah menerimanya. Hal ini ternyata menambah simpati dunia
terhadap RI, sebaliknya Belanda bersikukuh mempertahankan Irian Barat.
Oleh karena itu pada tanggal 14 Agustus 1962 RI melakukan operasi
besar-besaran yang terkenal sebagai operasi Jayawijaya. Tanggal
penyerbuan ini ditetapkan sebagai ”Hari H” atau “Hari Penyerbuan.”
Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, bertempat di Markas Besar PBB. Perjanjian ini terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi Perjanjian New York adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.
2. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.
3. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.
4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.
5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Selanjutnya untuk menjamin keamanan di Irian Barat maka dibentuk suatu pasukan keamanan PBB yang dinamakan United Nations Security Forces (UNSF) di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Said Uddin Khan dari Pakistan. Pekerjaan UNTEA di bawah pimpinan Jalal Abdoh dari Iran juga berjalan lancar sehingga tepat pada tanggal 1 Mei 1963 roda pemerintahan RI sudah berjalan. Sebagai Gubernur Irian Barat pertama maka diangkatlah E. J. Bonay, seorang putera asli Irian Barat. Di samping nama-nama Soeharto, Sudarso dan lain-lain yang berjasa dalam pembebasan Irian Barat juga tercatat dalam sejarah nama-nama seperti Kolonel Sudomo, Kolonel Udara Leo Watimena, dan Mayor L. B. Moerdani. Pantas pula untuk dikenang adalah, sukarelawati yang gigih berjuang dalam pembebasan Irian Barat yakni Herlina. Ia memenangkan hadiah Pending Emas karena ikut sertanya dalam pembebasan Irian Barat secara heroik. Pengalamannya dibukukan dalam karya tulis yang berjudul Pending Emas.
Dengan ditandatangani Perjanjian New York maka pada tanggal 1 Mei 1963 Irian Barat diserahkan kepada Indonesia. Hubungan diplomatik dengan Belanda pun segera dibuka kembali. Dengan kembalinya Irian Barat kepada Indonesia maka Komando Mandala dibubarkan dan sebagai operasi terakhir adalah Operasi Wisnumurti yang bertugas menjaga keamanan dalam penyerahan kekuasaan pemerintahan di Irian Barat dai UNTEA kepada Indonesia.
F Arti Penting Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat
Sebagai
bagian dari Persetujuan New York bahwa Indonesia berkewajiban untuk
mengadakan “Penentuan Pendapat Rakyat” (Ascertainment of the wishes of
the people) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969 dengan ketentuan
bahwa kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menghormati
keputusan hasil Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat tersebut. Pada
tahun 1969 diselenggarakanlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di
Irian Barat dan hasilnya adalah bahwa rakyat Irian Barat tetap
menghendaki sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya
hasil dari Pepera tersebut dibawa ke New York oleh utusan Sekjen PBB
Ortizs Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke- 24 pada bulan
November 1969. Penyelesaian sengketa masalah Irian Barat antara
Indonesia dengan Belanda melalui Persetujan New York dan dilanjutkan
dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) merupakan cara yang adil.
Dalam persoalan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat = plebisit) menurut
Persetujuan New York, pihak Belanda juga menunjukkan sikapnya yang baik.
Kedua belah pihak menghormati hasil dari pendapat rakyat Irian Barat
dalam menentukan pilihannya.
Hasil dari Pepera yang memutuskan secara bulat bahwa Irian Barat
tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia. Hasil Pepera ini membuka
jalan bagi persahabatan RI-Belanda. Lebih-lebih setelah tahun 1965,
hubungan RI-Belanda sangat akrab dan banyak sekali bantuan dari Belanda
kepada Indonesia baik melalui IGGI (Inter Governmental Group for
Indonesia) atau di luarnya. Akhirnya Sidang Umum PBB tanggal 19 November
1969 menyetujui hasil- hasil Pepera tersebut sehingga Irian Barat tetap
merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.
A Latar Belakang Terjadinya Perjuangan Mengembalikan Irian Barat
Masih ingatkah kalian tentang Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diselenggarakan di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus sampai 2
September 1949? Salah satu keputusan dalam konferensi tersebut antara
lain bahwa masalah Irian Barat akan dibicarakan antara Indonesia dengan
Belanda satu tahun setelah Pengakuan Kedaulatan. Dari keputusan ini
terjadi perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda. Pihak
Indonesia menafsirkan bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia. Tetapi pihak Belanda menafsirkan hanya akan merundingkan saja
masalah Irian Barat. Dalam perjalanan waktu, Belanda tidak mau
membicarakan masalah Irian Barat dengan Indonesia. Untuk menghadapi
sikap Belanda tersebut maka Indonesia melakukan berbagai upaya sebagai
berikut.
B Perjuangan Diplomasi: Pendekatan Diplomasi
Dalam
menghadapi masalah Irian Barat tersebut Indonesia mula-mula melakukan
upaya damai, yakni melalui diplomasi bilateral dalam lingkungan ikatan
Uni Indonesia-Belanda. Akan tetapi usaha-usaha melalui meja perundingan
secara bilateral ini selalu mengalami kegagalan. Setelah upaya-upaya
tersebut tidak mambawa hasil maka sejak tahun 1953 perjuangan pembebasan
Irian Barat mulai dilakukan di forum- forum internasional, terutama PBB
dan forum-forum solidaritas Asia-Afrika seperti Konferensi Asia-Afrika.Sejak tahun 1954 masalah Irian Barat ini selalu dibawa dalam acara Sidang Majelis Umum PBB, namun upaya ini pun tidak memperoleh tanggapan yang positif. Setelah upaya-upaya diplomasi tidak mencapai hasil maka pemerintah mengambil sikap yang lebih keras yakni membatalkan Uni Indonesia-Belanda dan diikuti pembatalan secara sepihak persetujuan KMB oleh Indonesia pada tahun 1956. Partai-partai politik dan semua golongan mendukung terhadap upaya pembebasan Irian Barat ini. Selain itu perjuangan merebut Irian Barat diresmikan pemerintah maka ditetapkanlah Soa-Siu di Tidore sebagai ibu kota provinsi Irian Barat dan Zainal Abidin Syah ditetapkan menjadi Gubernur pada tanggal 23 September 1956.
C Perjuangan dengan Konfrontasi Politik dan Ekonomi
Berbagai
upaya yang dilakukan Indonesia tersebut sampai tahun 1957 ternyata
belum membawa hasil sehingga Belanda tetap menduduki Irian Barat. Karena
jalan damai yang ditempuh belum membawa hasil maka sejak itu perjuangan
ditingkatkan dengan melakukan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di
seluruh tanah air Indonesia yang dimulai dengan pengambilalihan
perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
diambilalih oleh bangsa Indonesia pada bulan Desember 1957 tersebut
antara lain Nederlandsche Handel Maatschappij N.V. (sekarang menjadi
Bank Dagang Negara), bank Escompto di Jakarta serta Perusahaan Philips
dan KLM.Pada tanggal 17 Agustus 1960 Republik Indonesia secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Kerajaan Belanda. Melihat hubungan yang tegang antara Indonesia dengan Belanda ini maka dalam Sidang Umum PBB tahun 1961 kembali masalah ini diperdebatkan. Pada waktu terjadi ketegangan Indonesia dengan Belanda, Sekretaris Jenderal PBB U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker untuk mengajukan usul penyelesaian masalah Irian Barat. Pada bulan Maret 1962 Ellsworth Bunker mengusulkan agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia yang dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Akhirnya Indonesia menyetujui usul Bunker tersebut dengan catatan agar waktu dua tahun itu diperpendek. Sebaliknya Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau melepaskan Irian bahkan membentuk negara “Boneka” Papua. Dengan sikap Belanda tersebut maka tindakan bangsa Indonesia dari politik konfrontasi ekonomi ditingkatkan menjadi konfrontasi segala bidang.
D Tri Komando Rakyat (Trikora)
Tindakan
Belanda dengan mendirikan negara “Boneka” Papua itu merupakan sikap
yang menantang kepada bangsa Indonesia untuk bertindak cepat. Oleh
karena itu pemerintah segera mengambil tindakan guna membebaskan Irian
Barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno dalam suatu
rapat raksasa di Yogyakarta mengeluarkan komando yang terkenal sebagai
Tri Komando Rakyat (Trikora) yang isinya sebagai berikut.1) Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan dikeluarkannya Trikora maka mulailah konfrontasi total terhadap Belanda dan pada bulan Januari 1962 pemerintah membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Adapun tugas pokok dari Komando Mandala Pembebasan Irian Barat ini adalah pengembangan operasi-operasi militer dengan tujuan pengembangan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan negara Republik Indonesia. Sebagai Panglima Komando Mandala adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Sebelum Komando Mandala melakukan operasi sudah dilakukan penyusupan ke Irian Barat. Pada tanggal 15 Januari 1962 ketika waktu menunjukkan pukul 21.15 di angkasa terlihat dua buah pesawat terbang pada ketinggian 3000 kaki melintasi formasi patroli ALRI. Diperkirakan pesawat tersebut adalah milik Belanda jenis Neptune dan Firefly. Waktu itu terlihat juga dua buah kapal perusak yang sedang melepaskan tembakan ke arah kapal Motor Torpedo Boat (MTB) yang di situ turut pula para pejabat tinggi dari Markas Besar Angkatan Laut yaitu Komodor Yos Sudarso. Dalam insiden di Laut Aru tersebut Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Pertama (Komodor) Yos Sudarso, bersama Komandan KRI Macan Tutul, Kapten (Laut) Wiratno, dan beberapa prajurit TNI-AL gugur sebagai pahlawan. Sebelum gugur Komodor Yos Sudarso sempat mengucapkan pesan terakhir “ Kobarkan Semangat Pertempuran.” Adapun operasi-operasi yang direncanakan Komando Mandala di Irian Barat dibagi dalam tiga fase, yakni sebagai berikut.
(1) Fase Infiltrasi (sampai akhir 1962)
Memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaran- sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto. Kesatuan-kesatuan ini harus dapat mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat dalam perjuangan fisik untuk membebaskan wilayah tersebut.
(2) Fase Eksploitasi (mulai awal 1963)
Mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
(3) Fase Konsolidasi (awal 1964)
Menegakkan kekuasaan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Selanjutnya antara bulan Maret sampai Agustus 1962 Komando Mandala melakukan operasi-operasi pendaratan baik melalui laut maupun udara. Beberapa operasi tersebut adalah Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana. Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga di Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke. Selain itu juga direncanakan serangan terbuka merebut Irian Barat dengan Operasi Jayawijaya.
E Persetujuan New York
Pada
awalnya Belanda tidak yakin pasukan Indonesia dapat masuk ke wilayah
Irian. Akan tetapi operasi-operasi yang dilakukan Pasukan Komando
Mandala ternyata berhasil terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan
pasukan Indonesia. Sementara itu Pemerintah Kerajaan Belanda sedikit
banyak mendapat tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk berunding
karena untuk mencegah terseretnya Uni Soviet dan Ameriksa Serikat ke
dalam konfrontasi. Dengan adanya rencana Bunker di atas maka sikap
Indonesia adalah menerimanya. Hal ini ternyata menambah simpati dunia
terhadap RI, sebaliknya Belanda bersikukuh mempertahankan Irian Barat.
Oleh karena itu pada tanggal 14 Agustus 1962 RI melakukan operasi
besar-besaran yang terkenal sebagai operasi Jayawijaya. Tanggal
penyerbuan ini ditetapkan sebagai ”Hari H” atau “Hari Penyerbuan.”Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, bertempat di Markas Besar PBB. Perjanjian ini terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi Perjanjian New York adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.
2. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.
3. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.
4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.
5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Selanjutnya untuk menjamin keamanan di Irian Barat maka dibentuk suatu pasukan keamanan PBB yang dinamakan United Nations Security Forces (UNSF) di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Said Uddin Khan dari Pakistan. Pekerjaan UNTEA di bawah pimpinan Jalal Abdoh dari Iran juga berjalan lancar sehingga tepat pada tanggal 1 Mei 1963 roda pemerintahan RI sudah berjalan. Sebagai Gubernur Irian Barat pertama maka diangkatlah E. J. Bonay, seorang putera asli Irian Barat. Di samping nama-nama Soeharto, Sudarso dan lain-lain yang berjasa dalam pembebasan Irian Barat juga tercatat dalam sejarah nama-nama seperti Kolonel Sudomo, Kolonel Udara Leo Watimena, dan Mayor L. B. Moerdani. Pantas pula untuk dikenang adalah, sukarelawati yang gigih berjuang dalam pembebasan Irian Barat yakni Herlina. Ia memenangkan hadiah Pending Emas karena ikut sertanya dalam pembebasan Irian Barat secara heroik. Pengalamannya dibukukan dalam karya tulis yang berjudul Pending Emas.
Dengan ditandatangani Perjanjian New York maka pada tanggal 1 Mei 1963 Irian Barat diserahkan kepada Indonesia. Hubungan diplomatik dengan Belanda pun segera dibuka kembali. Dengan kembalinya Irian Barat kepada Indonesia maka Komando Mandala dibubarkan dan sebagai operasi terakhir adalah Operasi Wisnumurti yang bertugas menjaga keamanan dalam penyerahan kekuasaan pemerintahan di Irian Barat dai UNTEA kepada Indonesia.