-->

Mengenang Chairil Anwar: Sekali Berarti Sudah itu Mati

Mengenang Chairil Anwar: Sekali Berarti Sudah itu Mati

28 April 1949, ia mati di usia muda, 26 tahun karena sakit paru-paru. Jasadnya dibenamkan di Karet, tempat yang disebutnya sebagai “daerahku y.a.d” (y.a.d adalah singkatan dari yang akan datang).

Sajak pertama yang membuatku mengenalnya pertama kali adalah sajak “Diponegoro”, salah satu sajak pernyataan Chairil Anwar diantara sajak terkenal lainnya “Aku” atau “Karawang-Bekasi”. Sajak Diponegoro, yang saya bacakan di bangku SMP sebagai salah satu tugas pelajaran Bahasa Indonesia, lantang menyatakan kekaguman kepada sosok Diponegoro. Yang paling teringat, dan kemudian menjadi semacam idiom dalam kehidupan kita adalah “pedang di kiri, keris di kanan”…


Kesan pertama saya terhadap sosok ini adalah bahwa ia adalah seorang pemberontak, paling tidak ia memberontak terhadap pakem puisi yang mendayu-dayu tentang cinta, religious dan hal yang mungkin dianggap absurd lainnya. Mungkin saja karena kebetulan ia beranjak di masa perjuangan revolusi kemerdekaan, sehingga darah pejuang mengalir deras di setiap bait sajaknya. “Sekali berarti sudah itu mati”.

Meski mungkin hanya sedikit rekam jejaknya ikut dalam perang fisik, namun sajak-sajak perjuangannya seperti yang paling terkenal “Antara Karawang-Bekasi”. Sajak ini menginspirasi, bukan saja mengguncang dada kejuangan kita, tapi rasa solidaritas untuk mengenang yang telah mati.
“Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa..”

Namun belakangan, ketika menemu sajak-sajak lainnya, saya kemudian sering terkagum dengan kelihaiannya memainkan harmonika kata-kata yang kadang getas tapi bernuansa misteri, misalnya: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin/Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang”. Apa yang dia benahi, dan siapa yang dia nanti? Apakah yang dia maksud adalah sosok Hapsah, istrinya?

Dalam benak saya, sajak-sajak Chairil adalah sajak-sajak bergelora. Ia pandai memainkan gelombang, juga pandai menghempaskan riak perasaan. Sajaknya bisa mebangkitkan batam terendam, hingga kemudian muncul dan berubah jadi semangat, meski sekali berarti sudah itu mati.

Ia layak dikenang, sajaknya layak dibaca. Dan kita, layak memekikkan gema suara nya sampai ke generasi mendatang. Kita sudah lama terbenam dalam ketidakpedulian, dan mungkin Chairil Anwar seolah tak henti membangunkan kita. Bahwa hari depan yang lebih baik, lebih tulus dan lebih percaya diri masih bisa diraih.

“Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”.

 http://www.daengrusle.net/mengenang-chairil-anwar-sekali-berarti-sudah-itu-mati/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel