Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
01:45
Edit
Pada tahun 2004, negara Indonesia mengadakan pemilu yang diikuti oleh 24
partai politik. Perhatikan gambar di atas! Pemilu di Indonesia dimulai pada tahun 1955 yang diikuti puluhan partai, organisasi
masa, dan perorangan. Masih ingatkah kalian bahwa setiap kali akan
diselenggarakan Pemilihan Umum diadakan kampanye dari masing- masing
partai politik peserta pemilu? Dalam kampanye tersebut dipaparkan
masing- masing program partainya. Hal ini merupakan pendidikan politik
bagi rakyat. Akan tetapi dalam kampanye seringkali ada kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan karena adanya pelanggaran dari aturan yang dibuat
bersama. Rakyat sering menjadi korban dari orang- orang yang tidak
bertanggung jawab ketika adanya arak- arakan kampanye. Walaupun
seringkali memakan korban dari kampanye yang merupakan rentetan dari
pemilu, namun Pemilihan Umum tetap diadakan sebab merupakan syarat
sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Indonesia sebagai
negara demokrasi mulai melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955.
Pemilu I tahun 1955 yang didambakan rakyat dapat meperbaiki keadaan
ternyata hasilnya tidak memenuhi harapan rakyat. Krisis politik yang
berkepanjangan akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959. Sejak itulah kehidupan bangsa Indonesia di bawah
kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi
Indonesia pasca Pengakuan Kedaulatan tersebut akan kita pelajari dalam
bab ini.
A Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI)
Seperti telah kalian pelajari pada bab II bahwa dengan melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya bangsa Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Penandatanganan pengakuan kedaulatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia ini maka bentuk negara Indonesia adalah menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Undang – Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang- Undang Dasar RIS. Tentunya kalian masih ingat bahwa salah satu hasil Konferensi Meja Bundar adalah bahwa Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya setelah KMB kemudian dilaksanakan pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
Sedangkan kesembilan daerah otonom itu adalah:
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
Negara-negara bagian di atas serta daerah- daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak dapat bergerak sendiri) adalah ciptaan Belanda. Negara- negara boneka ini dimaksudkan akan dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di dalamnya. Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira- kira enam bulan, suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara Serikat (golongan federalis) semakin terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang menjabat sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan Westerling. Raymond Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan rakyat di Sulawesi Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950 menjadikan rakyat semakin tidak puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu rakyat Bandung menuntut dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk menggabungkan diri dengan RI. Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang-undang darurat yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris Negara (RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang menyusul itu cenderung untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI menjadi negara kesatuan. Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI semakin luas, maka diselenggarakanlah pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur dari Negara Sumatera Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan Piagam
Persetujuan, yang isinya sebagai berikut:
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang- Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Jadi berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet Presidensiil.
B. Pemilihan Umum I Tahun 1955 di Tingkat Pusat dan Daerah
Semenjak Indonesia menggunakan sistem Kabinet Parlementer keadaan politik tidak stabil. Partai-partai politik tidak bekerja untuk kepentingan rakyat akan tetapi hanya untuk kepentingan golongannya saja. Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen merupakan wakil-wakil partai yang saling bertentangan. Keadaan yang demikian rakyat menginginkan segera dilaksanakan pemilihan umum. Dengan pemilihan umum diharapkan dapat terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga dapat memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga terbentuk pemerintahan yang stabil. Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet, misalnya kabinet Alisastroamijoyo I bahkan telah menetapkan tanggal pelaksanaan pemilu. Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut sudah jatuh sebelum melaksanakan Pemilihan Umum. Akhirnya pesta demokrasi rakyat tersebut baru dapat dilaksanakan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat dilaksanakan dalam dua gelombang, yakni :
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
Suatu pesta demokrasi nasional pertama kali yang diadakan sejak Indonesia merdeka itu dilakukan oleh lebih dari 39 juta rakyat Indonesia. Mereka mendatangi tempat-tempat pemungutan suara guna menyalurkan haknya sebagai pemilih. Dalam pelaksanakannya, Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dalam Pemilihan Umum tersebut diikuti oleh banyak partai politik, organisasi, dan perorangan pun juga ikut, sehingga DPR terbagi dalam banyak fraksi di antaranya keluar sebagai empat besar adalah : (1) Fraksi Masyumi (60 anggota); (2) Fraksi PNI (58 anggota); (3) Fraksi NU (47 anggota); (4) Fraksi PKI (32 anggota). Seluruh anggota DPR hasil Pemilu I tersebut berjumlah 272 anggota, yaitu dengan perhitungan bahwa seorang anggota DPR mewakili 300.000 orang penduduk. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Pada tanggal 25 Maret 1956 DPR hasil pemilihan umum dilatik. Sedangkan anggota konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956. Pemilihan Umum I tahun 1955 berjalan secara demokratis, aman, dan tertib sehingga merupakan suatu prestasi yang luar biasa di mana rakyat telah dapat menyalurkan haknya tanpa adanya paksaan dan ancaman. Walaupun Pemilu berjalan sukses akan tetapi hasil dari Pemilu tersebut belum dapat memenuhi harapan rakyat karena masing- masing partai masih mengutamakan kepentingan partainya daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu pada waktu itu masih mengalami krisis politik dan berakibat lahirnya Demokrasi Terpimpin.
C. Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya
Pada Pemilu I tahun 1955 rakyat selain memilih anggota DPR juga memilih anggota badan Konstituante. Badan ini bertugas menyusun Undang-Undang Dasar sebab ketika Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula di negara kita diterapkan Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Pertentangan antarpartai politik seringkali terjadi. Situasi politik dalam negeri tidak stabil dan di daerah-daerah mengalami kegoncangan karena berdirinya berbagai dewan, seperti Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri.
Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan berpenadapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Karena keadaan politik semakin hangat maka Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan di daerah kemudian memuncak dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Setelah keadaan aman maka Konstituante mulai bersidang untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante ini berlangsung sampai beberapa kali yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun, yakni sejak sidang pertama di Bandung tanggal 10 November 1956 sampai akhir tahun 1958. Akan tetapi sidang tersebut tidak membuahkan hasil yakni untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan hanya merupakan perdebatan sengit.
Perdebatan-perdebatan itu semakin memuncak ketika akan menetapkan dasar negara. Persoalan yang menjadi penyebabnya adalah adanya dua kelompok yakni kelompok partai-partai Islam yang menghendaki dasar negara Islam dan kelompok partai-partai non-Islam yang menghendaki dasar negara Pancasila. Kelompok pendukung Pancasila mempunyai suara lebih besar daripada golongan Islam akan tetapi belum mencapai mayoritas 2/3 suara untuk mengesahkan suatu keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137 UUD S 1950). Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante, Presiden Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pihak yang pro dan militer mendesak kepada Presiden Soekarno untuk segera mengundangkan kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui dekrit. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat Indonesia. Adapun isi Dekrit Presiden tersebut adalah:
1) pembubaran Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL) ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK.
Dengan demikian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bernegara ini baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dalam bidang politik, semua lembaga negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi pemerintah menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam bidang impor hanya dikuasai orang- orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, pemerintah melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap sebagai bentuk penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme (Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok Timur.
D Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya. Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara pusat dengan daerah kurang harmonis. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.
2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa silih berganti. Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
d. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan pusat tidak memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah. Beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah terbukti tampilnya perebutan kekuasaan di daerah oleh pihak militer. Menurut pandangan mereka pemerintah pusat tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menyelesaikan sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan pusat ini nantinya akan berakibat munculnyapemberontakan di daerah-daerah. Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956. Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.” Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.
a. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
b. Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah. Setelah kota Ambon jatuh ke tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.
d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri. Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang, Sumatera Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek. Pada tanggal 15 Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRRI ini selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat bantuan dari seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope. Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil
Sumber :
http://gerakanrakyatmarhaen.wordpress.com/berita-marhaenis/peristiwa-peristiwa-politik-dan-ekonomi-indonesia-paca-pengakuan-kedaulatan/
A Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI)
Seperti telah kalian pelajari pada bab II bahwa dengan melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya bangsa Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Penandatanganan pengakuan kedaulatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia ini maka bentuk negara Indonesia adalah menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Undang – Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang- Undang Dasar RIS. Tentunya kalian masih ingat bahwa salah satu hasil Konferensi Meja Bundar adalah bahwa Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya setelah KMB kemudian dilaksanakan pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
Sedangkan kesembilan daerah otonom itu adalah:
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
Negara-negara bagian di atas serta daerah- daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak dapat bergerak sendiri) adalah ciptaan Belanda. Negara- negara boneka ini dimaksudkan akan dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di dalamnya. Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira- kira enam bulan, suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara Serikat (golongan federalis) semakin terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang menjabat sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan Westerling. Raymond Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan rakyat di Sulawesi Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950 menjadikan rakyat semakin tidak puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu rakyat Bandung menuntut dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk menggabungkan diri dengan RI. Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang-undang darurat yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris Negara (RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang menyusul itu cenderung untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI menjadi negara kesatuan. Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI semakin luas, maka diselenggarakanlah pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur dari Negara Sumatera Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan Piagam
Persetujuan, yang isinya sebagai berikut:
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang- Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Jadi berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet Presidensiil.
B. Pemilihan Umum I Tahun 1955 di Tingkat Pusat dan Daerah
Semenjak Indonesia menggunakan sistem Kabinet Parlementer keadaan politik tidak stabil. Partai-partai politik tidak bekerja untuk kepentingan rakyat akan tetapi hanya untuk kepentingan golongannya saja. Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen merupakan wakil-wakil partai yang saling bertentangan. Keadaan yang demikian rakyat menginginkan segera dilaksanakan pemilihan umum. Dengan pemilihan umum diharapkan dapat terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga dapat memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga terbentuk pemerintahan yang stabil. Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet, misalnya kabinet Alisastroamijoyo I bahkan telah menetapkan tanggal pelaksanaan pemilu. Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut sudah jatuh sebelum melaksanakan Pemilihan Umum. Akhirnya pesta demokrasi rakyat tersebut baru dapat dilaksanakan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat dilaksanakan dalam dua gelombang, yakni :
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
Suatu pesta demokrasi nasional pertama kali yang diadakan sejak Indonesia merdeka itu dilakukan oleh lebih dari 39 juta rakyat Indonesia. Mereka mendatangi tempat-tempat pemungutan suara guna menyalurkan haknya sebagai pemilih. Dalam pelaksanakannya, Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dalam Pemilihan Umum tersebut diikuti oleh banyak partai politik, organisasi, dan perorangan pun juga ikut, sehingga DPR terbagi dalam banyak fraksi di antaranya keluar sebagai empat besar adalah : (1) Fraksi Masyumi (60 anggota); (2) Fraksi PNI (58 anggota); (3) Fraksi NU (47 anggota); (4) Fraksi PKI (32 anggota). Seluruh anggota DPR hasil Pemilu I tersebut berjumlah 272 anggota, yaitu dengan perhitungan bahwa seorang anggota DPR mewakili 300.000 orang penduduk. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Pada tanggal 25 Maret 1956 DPR hasil pemilihan umum dilatik. Sedangkan anggota konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956. Pemilihan Umum I tahun 1955 berjalan secara demokratis, aman, dan tertib sehingga merupakan suatu prestasi yang luar biasa di mana rakyat telah dapat menyalurkan haknya tanpa adanya paksaan dan ancaman. Walaupun Pemilu berjalan sukses akan tetapi hasil dari Pemilu tersebut belum dapat memenuhi harapan rakyat karena masing- masing partai masih mengutamakan kepentingan partainya daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu pada waktu itu masih mengalami krisis politik dan berakibat lahirnya Demokrasi Terpimpin.
C. Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya
Pada Pemilu I tahun 1955 rakyat selain memilih anggota DPR juga memilih anggota badan Konstituante. Badan ini bertugas menyusun Undang-Undang Dasar sebab ketika Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula di negara kita diterapkan Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Pertentangan antarpartai politik seringkali terjadi. Situasi politik dalam negeri tidak stabil dan di daerah-daerah mengalami kegoncangan karena berdirinya berbagai dewan, seperti Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri.
Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan berpenadapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Karena keadaan politik semakin hangat maka Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan di daerah kemudian memuncak dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Setelah keadaan aman maka Konstituante mulai bersidang untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante ini berlangsung sampai beberapa kali yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun, yakni sejak sidang pertama di Bandung tanggal 10 November 1956 sampai akhir tahun 1958. Akan tetapi sidang tersebut tidak membuahkan hasil yakni untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan hanya merupakan perdebatan sengit.
Perdebatan-perdebatan itu semakin memuncak ketika akan menetapkan dasar negara. Persoalan yang menjadi penyebabnya adalah adanya dua kelompok yakni kelompok partai-partai Islam yang menghendaki dasar negara Islam dan kelompok partai-partai non-Islam yang menghendaki dasar negara Pancasila. Kelompok pendukung Pancasila mempunyai suara lebih besar daripada golongan Islam akan tetapi belum mencapai mayoritas 2/3 suara untuk mengesahkan suatu keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137 UUD S 1950). Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante, Presiden Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pihak yang pro dan militer mendesak kepada Presiden Soekarno untuk segera mengundangkan kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui dekrit. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat Indonesia. Adapun isi Dekrit Presiden tersebut adalah:
1) pembubaran Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL) ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK.
Dengan demikian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bernegara ini baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dalam bidang politik, semua lembaga negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi pemerintah menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam bidang impor hanya dikuasai orang- orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, pemerintah melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap sebagai bentuk penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme (Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok Timur.
D Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya. Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara pusat dengan daerah kurang harmonis. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.
2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa silih berganti. Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
d. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan pusat tidak memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah. Beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah terbukti tampilnya perebutan kekuasaan di daerah oleh pihak militer. Menurut pandangan mereka pemerintah pusat tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menyelesaikan sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan pusat ini nantinya akan berakibat munculnyapemberontakan di daerah-daerah. Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956. Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.” Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.
a. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
b. Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah. Setelah kota Ambon jatuh ke tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.
d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri. Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang, Sumatera Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek. Pada tanggal 15 Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRRI ini selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat bantuan dari seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope. Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil
Sumber :
http://gerakanrakyatmarhaen.wordpress.com/berita-marhaenis/peristiwa-peristiwa-politik-dan-ekonomi-indonesia-paca-pengakuan-kedaulatan/