-->

kota Jepang

     Ibu kota Jepang yang sekarang secara de facto berada di Tokyo. Di Jepang, istilah "ibu kota" (shuto) baru dikenal orang setelah Perang Dunia II berakhir. Sebelumnya, Tokyo sejak tahun 1868 merupakan ibu kota kekaisaran (teito). Istilah "ibu kota" baru dikenal secara luas setelah ditetapkan Undang-undang Pembangunan Ibu Kota (Shuto kensetsu-hō) tahun 1950 yang tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya Undang-undang Konsolidasi Daerah Metropolitan (Shutoken seibi-hō) tahun 1959.
Hingga kini, kedudukan Tokyo sebagai ibu kota Jepang tidak memiliki dasar hukum yang sah.[1] Namun pada prakteknya, Tokyo diperlakukan sebagai ibu kota Jepang dalam penulisan hukum dan undang-undang.
Tokyo diperlakukan secara de facto sebagai ibu kota karena menurut Konstitusi Jepang, Kaisar Jepang sebagai "lambang negara Jepang dan simbol pemersatu rakyat Jepang" dan istana kaisar berkedudukan di Tokyo. Selain itu, lembaga-lembaga pemerintah seperti Parlemen Jepang, Kantor Perdana Menteri (Kantei) dan Mahkamah Agung Jepang yang ditetapkan konstitusi sebagai "lembaga tertinggi negara" berada di distrik Chiyoda, Tokyo.


Sejarah

Secara historis, ibu kota Jepang adalah tempat berkedudukannya istana kaisar dan kota tempat tinggal Kaisar Jepang. Sejak Zaman Kofun, kota untuk penduduk bermukim dibangun secara terencana di sekeliling istana kaisar sehingga kota tersebut pantas disebut "ibu kota".
Hingga zaman Nara, bangunan istana dan rumah kediaman bangsawan masih berupa konstruksi hottatebashira[1] (bangunan dari tiang-tiang yang didirikan di atas tanah yang digali) sehingga bangunan tidak bertahan lama. Kuil Ise yang juga menggunakan konstruksi hottatebashira dibangun kembali setiap 20 tahun sekali.
Di zaman kuno, ibu kota dan istana kaisar sering sekali dipindah-pindah dan dibangun di tempat yang baru. Menurut perkiraan, hal ini dilakukan akibat usia bangunan yang umumnya relatif singkat. Walaupun perencanaan pembangunannya mengambil model tata kota di Tiongkok, rakyat menolak untuk pindah ke lokasi permukiman di ibu kota Fujiwara-kyō, Heijō-kyō, dan Heian-kyō seperti direncanakan sebelumnya. Alasannya, kawasan yang ditetapkan sebagai permukiman adalah tanah dengan kelembaban tinggi akibat permukaan air tanah yang tinggi, dan daerah-daerah yang mudah banjir di pinggir sungai. Akibatnya, rumah yang masih dibuat dengan konstruksi hottatebashira mudah menjadi rusak.
Sebelum zaman Asuka, tidak ada kota di Jepang yang dapat disebut "ibu kota". Menurut Kojiki dan Nihon Shoki asal zaman Nara, selain berada di Shiki, Iware (sekarang kota Sakurai, Prefektur Nara), istana kaisar didirikan di beberapa tempat lain, antara lain di Namba, Provinsi Kawachi (Osaka). Kota-kota diperkirakan ikut dibangun dengan kediaman keluarga kekaisaran sebagai pusatnya.
Antara zaman Asuka dan zaman Nara, Jepang mengenal ibu kota kedua yang berfungsi sebagai pusat ekonomi dan transportasi. Pada zaman Kaisar Temmu dikenal ibu kota kedua di Naniwanomiya (Osaka). Sementara itu pada zaman Kaisar Junnin dikenal ibu kota kedua di Horanomiya (kota Otsu, Prefektur Osaka, 761-764), sedangkan pada zaman Kaisar Kōken dikenal ibu kota kedua di Yugenomiya (kota Yao, Prefektur Osaka, 769-770). Walaupun Horanomiya dan Yugenomiya hanya berusia singkat, Naniwanomiya tetap bertahan sebagai ibu kota kedua hingga ibu kota dipindahkan ke Nagaoka-kyō.
Pada zaman Nanboku-cho (1336-1392, tidak termasuk masa damai 1351-1352), ibu kota Istana Utara berada di Heian-kyō sedangkan Istana Selatan berkedudukan di sejumlah istana sementara. Semasa Perang Sino-Jepang Pertama, Kaisar Meiji memindahkan Markas Besar Kekaisaran ke kota Hiroshima. Parlemen Kekaisaran masa itu juga bersidang di Hiroshima.









Sumber  http://id.wikipedia.org/wiki/Ibu_kota_Jepang

































































Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel